Babi, hewan ini juga memiliki nilai sejarah tersendiri, baik didalam agama maupun dalam perkembangan nusantara. Dalam agama Abrahamik atau Samawi (Yahudi, Kristen, Islam), faktor material sangat mempengaruhi budaya yang berkembang ditengah manusia. Ekosistem alami babi dengan perkembangbiakan yang cepat tentu merupakan ancaman tersendiri bagi masyarakat Timur Tengah saat itu.Â
Tidak hanya soal 'kekotoran' pada diri babi yang melekat, namun juga sangat maladaptif untuk dikembangkan dengan minimnya faktor ketersediaan sumber daya pakan (Harris, 2019).
Kitab Perjanjian lama, dalam Imamat 11: 7-8 dan Ulangan 14:8 juga sama menyebutkan pelarangan memakan hewan 'berkuku belah', bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, tentu hewan dengan ciri ini adalah babi. Hanya saja dalam Markus 7: 18-19, menjelaskan lebih mendalam soal filosofi makanan, bukan makanan yang masuk ke perut menjadi najis, melainkan apa yang keluar dari hati dan menyakiti orang lain menjadikannya najis.
Babi juga disebutkan dalam Al-Qur'an, surat al-Maidah: 3, dan an-Nahl; 115, jelas menyebutkan pengharaman atas bangkai, darah dan 'daging babi', meskipun terdapat pengecualian dalam kondisi terdesak.Â
Alasannya, secara filosofis babi memiliki perilaku yang buruk, menyukai kotoran, rakus, dan berbagai alasan medis seperti berbagai jenis cacing yang mendiami babi. Ini yang kemudian menjadikan 'daging babi' tak layak konsumsi bagi umat Islam.
Di nusantara, babi juga turut memberikan makna sejarah tersendiri. Fosil di Sangiran dengan usia 780.000 tahun lalu menunjukkan adanya babi sebagai salah satu sumber makanan masyarakat pra sejarah. Begu juga dengan lukisan dinding gua yang berada di Maros- Sulawesi Selatan, dimana digambarkan babi sebagai hewan buruan dan dikonsumsi.Â
Pada relief Karmawibhangga Candi Borobudur, tergambar bagaimana babi menjadi salah satu hewan yang diternakkan selain kambing dan ayam. Mpu Prapanca menyebutkan dalam Negara Kertagama di abad ke-14 bagaimana kisah para raja menikmati sajian daging babi liar (wok).
Berbeda dengan sejarah Eropa, dimana Pigafetta (penjelajah Venesia 1524) saat bertemu dengan Raja Tidore, yang justru kemudian menyuruhnya untuk membunuh semua babi yang dibawanya, kemudian digantikan dengan kambing dan ayam dengan jumlah yang sama. Ini merupakan penunjukan diri dari nilai ketatan dalam memeluk Islam saat itu untuk tidak mengonsumsi babi.
Sejarah ini tentu menjadi gambaran penting, bagaimana kemudian ada dua entitas berbeda secara filosofis antara 'rendang' dengan 'babi' dalam balutan suku kata.Â
Rendang dimana tempatnya berasal adalah 'ranah Minang' dengan 'Adat basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah, Syara' Mangato, Adat Mamakai' sebagai landasan tata perilaku dalam hidup dan berkehidupan secara horizontal dan vertical.Â
Ini yang kemudian mempengaruhi cara pandang dan cara hidup 'Orang Minang' dimana 'resep marandang berasal'. Ini yang kemudian membedakan, mengapa sulit untuk memadukan 'makna' rendang dengan 'babi' dalam satu sajian rasa.