Sembari duduk di kursi kesayangannya, Cik Mei begitu antusias menunjukkan seluruh karyanya kepadaku, dan rasa bangganya menjadi bagian dari Indonesia, tak hanya karya, namun juga menghidupkan tradisi akulturasi budaya keindonesiaan dengan toleransi tinggi yang ia temukan sebagai perempuan berdarah Tionghoa dan tetap 'berjiwa' Indonesia.
Lumpia dan Pesan Kedamaian Indonesia
Tahun ini, bagi Meiliana, merupakan Imlek yang harus dirayakan dengan suka cita dan kedamaian serta memberikan rasa kasih sayang, untuk umat manusia seluruh Indonesia.Â
Makna Macan Air pada Imlek di 2022, merupakan 'keberanian' yang harus dimiliki oleh Indonesia, sebagai bangsa yang berjiwa besar dengan beragam budaya untuk terus tumbuh dalam toleransi keberagamaan dan keberagaman dengan dasar Pancasila. 'Air' pada Imlek kali ini memiliki lambang kepekaan, peduli, kreativitas dan keterbukaan terhadap perubahan. Tentu hal ini juga tidak mudah, dimana bangsa Indonesia masih berhadapan dengan Pandemic Covid 19, terutama Omicron yang masih menyinggahi negeri kita.
Apa yang dilakukan oleh Tjoa Thay Joe bukan tanpa alasan dengan situasi politik yang bisa terjadi padanya, ditengah rasa keinginan untuk menetapkan dirinya menjadi bagian dari bangsa ini.Â
Cik Mei mengakui, bukanlah hal mudah untuk menjaga jati diri, identitas dan kecintaan sebagai masyarakat Indonesia. Ia, sebagai salah satu perempuan Tionghoa merasa belum selesai dalam perannya sebagai masyarakat Indonesia. Sehingga tulisan dan Lumpia menjadi pilihannya sebagai 'cara' untuk mengejawantahkan keunikan Indonesia dalam kudapan yang istimewa di mata sejarah antara Tionghoa dan bangsa Indonesia.
Pada Imlek tahun ini, Cik Mei tetap berdoa akan kedamaian bagi Indonesia, ditengah hiruk pikuk politik, perjuangan demokrasi dan Pemilu yang akan datang pada 2024.Â
Menjaga kedamaian dengan karya dan pesan kebangsaan melalui Lumpia merupakan caranya berdedikasi. Baginya, belajar dari sejarah perjuangan NKRI, bagaimana seorang Liem Koen Hian yang berani melawan jurnalis pada zaman pendudukan Belanda yang rasis terhadap Indonesia  saat itu di tahun 1932, John Lie sebagai salah satu TNI AD masa penjajahan Jepang yang makamnya bisa ditemukan di Kalibata-Jakarta, Lie Eng Hok (jurnalis Sin Po), seniman Sho  Bun Seng, Tjia Giok Thwam, Ferry Sie King Lien, Ong Tjong Bing, hingga Sue Hok Gie yang tetap konsisten dalam memperjuangkan reformasi hingga akhir hayatnya bahkan diangkat pada film layar lebar dengan judul 'Gie' dan perankan oleh Nicholas Saputra di tahun 2005.
Dengan berbagai literatur sejarah inilah, kenapa kemudian 21 tahun lalu Gus Dur pada 09 April 2001, memberikan penghargaan kepada masyarakat Tionghoa Indonesia menjadi bagian dari Indonesia yang penting dan mengeluarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 sebagai bentuk anugerah dan penghargaan terhadap sebuah gerakan perjuangan bersama bagi NKRI.
Kini usia Cik Mei mungkin tak lagi muda, tapi ia tetap mewariskan semangatnya kepada 4 anaknya sebagai generasi penerusnya untuk tetap melestarikan budaya, membawa jatidiri sebagai bagian dari sejarah republik Indonesia.Â
Dia berpesan diakhir percakapan panjangnya, 'aku lahir di sini, bukan untuk sekadar menjadi manusia biasa, tetapi aku dilahirkan di bumi pertiwi Indonesia, merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kehidupan ditengah besarnya sebuah bangsa, menyaksikan sejarah, perjuangan dan kecintaanku pada Indonesia.Â
Menulis dan membuat Lumpia dengan tanganku, adalah pesan yang akan menjadi warisan anak dan cucuku, untuk terus membawa kedamaian bagi negeri ini seperti pesan sejarah bahwa Lumpia adalah 'Hwung-jin wan-lyang' yang berarti kedamaian bagi sesama'.Â