Puisi jawa atau dikenal juga dengan sebutan geguritan, makin hari semakin berkurang peminatnya. Hal ini disebabkan masyarakat jawa sudah mulai banyak yang menggunakan bahasa non jawa. Orang jawa sekarang lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-harinya ketimbang menggunakan Bahasa Jawa.
Bahasa Jawa halus mungkin hanya ada di lingkungan keraoin saja, seperti Keraton Surakarta dan Keraton Yogya. Kadang, orang tua juga lebih bangga anaknya belajar bahasa Inggris ketimbang mempelajari bahasa ibu.
Geguritan sebagai produk sastra jawa akan merasakan dampak buruk dari hal ini. Padahal geguritan mempunyai sejarah yang panjang, bahkan melebihi sejarah sastra Indonesia.
Sekarang ini sastra geguritan sudah mengalami sedikit perubahan. Dari yang tadinya kaku dan banyak aturan, sekarang menjadi lebih luwes. Geguritan tidak berbeda jauh dengan puisi Indonesia modern, hanya saja geguritan menggunakan bahasa jawa. Itupun tidak harus menggunakan bahasa jawa kromo.
Jaman dahulu, geguritan hanya bisa dibuat oleh para pujangga yang memang mempunyai kemampuan lebih dalam mengolah bahasa jawa. Mereka membuat geguritan dengan bahasa yang bermajas-majas dan sarat makna. Biasanya geguritan di buat menyindir penguasa atau pihak kolonial.
Sebagai generasi penerus, kita harus bisa mempertahankan sastra geguritan bahasa jawa. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, salah satunya yaitu dengan mengadakan lomba baca puisi jawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H