Mohon tunggu...
Sri Eka Novi Astuty
Sri Eka Novi Astuty Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2011. PR dan Advertiser.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ngapak, Dianggap Warisan Budaya atau Lelucon?

23 Oktober 2012   02:40 Diperbarui: 4 Februari 2020   08:16 2988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Nyong ora nggolet perkara meng riko.”

Pernah dengar kalimat seperti itu? Iya, itu adalah bahasa ngapak. Jika sudah, apa reaksi anda saat pertama kali mendengarnya? Tersenyum geli, atau justru tertarik? Jika belum pernah dengar sama sekali, anda bisa sesekali mencoba mendengarkan lelucon “Curanmor” yang biasa diputar di radio-radio Banyumasan atau beberapa kartun ngapak yang ada di situs Youtube. Ngapak merupakan salah satu gaya bicara yang biasa digunakan oleh orang-orang Cilacap, Banjarnegara, Banyumas, Purwokerto, Kebumen, Tegal dan Wonosobo.

Sebenarnya kalimat tersebut menggunakan bahasa Jawa ngapak, yang artinya “Saya tidak mencari masalah dengan anda.” Nada yang mereka gunakan terdengar sangat medhok dan berbeda dari logat bahasa Jawa pada umumnya. 

Jika di wilayah Jawa Tengah lain masih menggunakan kata “aku”, dalam ngapak kata aku berganti menjadi “inyong atau nyong”. Selain itu, huruf vocal pada  suatu kata menggunakan huruf “a” bukan huruf “o”. Contohnya saja kata “sego” yang berarti nasi, jika dibaca dengan gaya bicara ngapak menjadi “sega”.

Di kalangannya, ngapak merupakan sesuatu yang dibanggakan, karena merupakan ciri khas tersendiri saat ada di wilayah lain. Seperti kata pepatah bahwa bahasa menunjukan bangsa, rasanya sangat tepat dan melekat di hati pengguna bahasa ngapak. 

Mereka merasa bahwa ngapaklah yang menjadi salah satu identitas bahwa mereka adalah orang Jawa Tengah bagian barat. Setiap yang mendengarnya, pasti langsung tahu dari mana orang tersebut, atau saat menyebutkan kota asal “Kebumen” atau bagian Jawa Tengah barat lainnya, ternyata masyarakat sudah memberi cap bahwa orang tersebut ngapak.

Tidak semua orang yang tinggal di wilayah berbahasa ngapak ternyata bisa berbahasa ngapak. Beberapa diantara mereka merupakan pendatang, dan beberapa yang lain karena memang lingkungan keluarga yang tidak membiasakan berbahasa ngapak. 

Contohnya saja wilayah Kebumen bagian timur, masyarakat wilayah ini lebih banyak menggunakan aksen Jawa biasa. Ini dikarenakan, semakin ke timur, semakin banyak terjadi akulturasi gaya bicara dan gaya bahasa.

Karena aksen bahasanya yang sedikit berbeda dengan bahasa Jawa kebanyakan, ngapak sering dijadikan objek lelucon masyarakat awam. Anehnya lagi, meskipun wilayah-wilayah tersebut termasuk dalam  satu rumpun ngapak, tidak lantas menjadikan semua kosakata mereka sama. 

Ada beberapa kata yang mereka gunakan dan memiliki makna berbeda di masing-masing daerahnya. Bila di Banyumas, Cilacap, Tegal dan Purwokerto kata “langka” digunakan untuk menggantikan kata “tidak ada”, beda halnya dengan di Kebumen dan Wonosobo, dimana kata “langka” itu berarti “jarang”.

Biasanya saat orang ngapak menggunakan bahasa Indonesia, masih terdengar aksen asli mereka, sehingga bahasa Indonesia yang digunakan terdengar medhok dan lucu. Ini yang sering ditertawakan oleh orang yang tidak biasa mendengarnya. 

Usut punya usut, ngapak merupakan bahasa ibu dari bahasa Jawa yang biasa digunakan saat ini. Kosakata dalam bahasa ngapak mengacu pada bahasa Jawa Kawi (Kuno).

Menurut thesis seorang mahasiswa S2 UGM, bahasa Jawa yang ada sekarang merupakan evolusi dari bahasa sansekerta yang kemudian melahirkan bahasa Jawa Kawi. Bahasa ngapak merupakan terusan dari bahasa sansekerta dan Jawa Kawi. 

Dalam dialek ngapak, kata “apa” tetap dibaca “apa” seperti bahasa sansekerta dan kawi. Sedangkan bahasa Jawa yang ada sekarang, kata “apa” dibaca “opo”.

Ngapak merupakan salah satu budaya lokal yang tidak dimiliki daerah lain. Atau bisa dikatakan, mereka sudah kehilangan tradisi bahasa Jawa asli. Jika pada kenyataannya ngapak merupakan bahasa asli  dari bahasa Jawa sekarang, kenapa banyak yang mentertawakan?

Sebenarnya orang awam bukan ingin mentertawakan atau mempermalukan. Jika kita telisik lebih lanjut, ngapak merupakan sutu hiburan tersendiri, karena di telinga mereka aksen tersebut terdengar lucu, sehingga mereka tertawa dan ingin terus-menerus mendengarnya lagi. Bahkan, banyak orang yang ternyata mengunduh dan menyimpan rekaman lelucon dengan dialek ngapak, untuk mereka dengarkan sesekali.

Sekalipun asing di telinga masyarakat pada umumnya, nyatanya ngapak merupakan sesuatu yang suadah lama ada dan masih lestari, bahkan tidak terkontaminasi gaya bicara ke-timuran dan gaya bicara yang aneh atau biasa disebut alay.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun