Kebudayaan yang ada di tanah Lombok atau yang di juluki Seribu Masjid ini beraneka ragam. Salah satunya Festival Ogoh-ogoh yang diselenggarakan oleh para penduduk minoritas yakni penduduk yang beragama Hindu sebagai rangkaian acara menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka. Festival ini selalu disambut antusias oleh penduduk mayoritas maupun minoritas yang lain untuk dapat menyaksikan secara lansung festival yang diadakan setahun sekali ini di Kota Mataram. Ini membuktikan bahwa toleransi antar umat beragama yang ada di Lombok masih sangat kuat, sehingga masyarakat dapat hidup berdampingan meskipun memiliki perbedaan dalam agama dan budaya.
Dari Sabang sampai Merauke, banyak orang mengatakan, Indonesia merupakan Negara yang sangat kaya akan budayanya. Saya pun sangat setuju dengan pendapat itu. Indonesia sebagai salah satu Negara yang memiliki keragaman suku, ras, bangsa, dan agama memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dari setiap daerahnya. Seperti halnya di tanah Seribu Masjid ini. Tak hanya orang-orang muslim yang menginjakkan kaki untuk berdiam dan menetap disini, namun orang-orang non muslim pun banyak yang tidak hanya bersinggah, namun mememutuskan untuk melanjutkan hidup di tanah Seribu Masjid ini. Salah satunya orang-orang beragama Hindu yang memadati beberapa titik wilayah di Lombok.
Keragaman budaya di Lombok tidak hanya di dominasi oleh masyarakat muslim saja, dalam hal ini masyarakat minoritas seperti Hindu pun mengambil bagiannya, seperti Festival Ogoh-ogoh yang baru-baru ini diselenggarakan oleh DOM (Dewan Ogoh-ogoh Mataram). Memang Festival Ogoh-ogoh sendiri tak hanya dapat ditemui di Lombok saja. Festival Ogoh-ogoh juga diselenggarakan di beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki penduduk beragama Hindu yang bermukim disana, seperti di Jakarta, Lampung, Banten, Jogja, Palu, dan tentunya Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu.
Festival Ogoh-ogoh merupakan rangkaian acara menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka yang setiap tahunnya di laskanakan oleh Masyarakat Hindu. Nama Ogoh-ogoh itu sendiri berasal dari bahasa Bali yakni Ogah-ogah yang artinya benda atau sesuatu yang di goyang-goyangkan. Seperti namanya, Ogoh-ogoh memang digoyang-goyangkan ketika diarak berkeliling oleh para pemuda - pemudi banjar dari masing-masing kelompok Banjar. Ogoh-ogoh berwujud seperti sosok yang menakutkan, hal itu merupakan gambaran dari Bhuta Kala yang mencerminkan kejahatan atau keburukan. Sehingga kejahatan atau keburukan tersebut harus dimusnahkan, dengan cara dibakar setelah selesai diarak-arak keliling kota.
Kota Mataram sebagai ibu kota Provinsi NTB dijadikan sebagai pusat penyelenggaraan festival ini setiap tahunnya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kelompok-kelompok Banjar di daerah yang ada di Lombok mendaftarkan diri untuk bisa berpartisipasi dalam festival tahunan ini. Seperti yang dilaporkan dalam Surat Kabar Harian Suara NTB dalam edisi Selasa, 8 Maret 2016, Penyelenggaraan festival Ogoh-ogoh tahun ini, dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1938 yang dilaksanakan pada Selasa, 8 Maret 2016 di sepanjang Jalan Cakra Barat sampai Taman Mayura, Cakranegara, yang diikuti oleh 113 kelompok Banjar yang ada di Lombok. Terbukti antusian masyarakat Hindu sangat tinggi atas festival tahunan ini, bukan hanya sebagai rangkaian acara keagamaan namun sebagai unjuk kekreativitasan pemuda-pemudi Hindu dalam menunjukkan wujud Khala dalam bentuk yang visual.
Tidak hanya masyarakat beragama Hindu yang antusias dalam menyaksikan hasil kreasi pemuda-pemudi Hindu ini, namun masyarakat beragama lain pun ikut antusias dalam menyaksikannya. Hal ini terlihat dari membludakknya masyarakat yang mendatangi wilayah Cakranegara hanya untuk menyaksikan Festival Ogoh-ogoh yang hanya diselenggarakan setahun sekali ini.
Bahkan, masyarakat dari luar Kota Mataram pun berbondong-bondong untuk ikut menyaksikannya, seperti dari Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Utara dan Lombok Timur, dan bahkan turis-turis yang sedang berwisata di Lombok sangat antusias untuk menyaksikan festival ini. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat non-Hindu masih memiliki ketertarikan untuk mengetahui budaya agama lain, serta toleransi antar umat beragama yang ada di Lombok masih sangat kuat, sehingga masyarakat dapat hidup berdampingan meskipun memiliki perbedaan dalam agama dan budaya.
Setiap tahunnya, Festival Ogoh-ogoh ini memang selalu disambut antusias oleh masyarakat di Lombok, bahkan sejak dulu. Seperti yang saya baca dalam hasil wawancara wartawan Pena Kampus dengan I Nyoman Artha, selaku Ketua DOM, “ogoh-ogoh mulai di kenal oleh masyarakat Lombok sejak 1992, yang di pelopori oleh enam lingkungan di Mataram, yakni Karang Jasi, Karanng Lede, Karang Belumbang, Karang Sampalan, Pagesangan, dan Karang Sidemen. Dari keenam lingkungan pada masa itu membuat Ogoh-ogoh berkembang pesat pada masa ini, bahkan sekarang sudah menjadi salah satu ikon destinasi wisata budaya di Lombok”.
Tidak hanya antusias masyarakat di Lombok yang dibutuhkan dalam memajukan festival budaya ini, namun dukungan dari Pemerintah Kota dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pun harus memberikan dukungan yang besar, sehingga kebudayaan ini tetap lestari, serta festival ini juga dapat dijadikan sebagai promosi wisata budaya di Lombok sehingga dapat meningkatkan income Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Kota Mataram.
Referensi Bacaan :