Terjadinya perbedaan penentuan awal ramadhan, iedul fithri dan iedul adha, khususnya di Indonesia, seringkali menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Kebingungan ini tidak hanya terjadi di tingkat negara dan daerah, tetapi juga pada taraf keluarga dan individu. Bayangkan saja, dalam satu keluarga bisa berbeda antara suami dan isteri, antara anak dan orang tua. Bahkan sering kita jumpai pada saat lebaran ada yang sholat ied dua kali, adapula yang tidak mau berpuasa pada hari iedul fithri suatu kelompok, tetapi shalat ied-nyaia lakukan keesokan harinya.
Keadaan ini ditambah lagi dengan pernyataan-pernyataan dari para pemimpin, para da’i dan sebagian umat islam yang menganggap perbedaan adalah rahmat, tidak perlu dipersoalkan, ikuti sesuai dengan keyakinan masing-masing, jangan mempersoalkan perbedaan, semua sama saja, dan lain sebagainya.
Pernyataan-pernyataan seperti ini dapat berakibat fatal pada umat yang pada umumnya awwam akan ilmu agama dan ilmu astronomi.Jadinya, mereka mengikuti bukan karena alasan-alasan yang dibenarkan secara syar’I, tetapi hanya karena taqlid buta dan alasan-alasan lain yang ia sendiri tidak tahu kenapaia ikuti.Sebagian lagi karena ikut-ikutan orang disekelilingnya dan ada juga yang karena merasa capek berpuasa, jadi ikut saja mana yang iedul fithrinya lebih cepat atau ada juga yang karena sudah terlanjur menyiapkan hidangan lebaran.
Selain itu, pernyataan-pernyataan tersebut memberikan kesan bahwa kita tidak perlu menyatukan pendapat dalam hal berpuasa dan berhari raya. Padahal, semua ibadah ini merupakan suatu syi’ar islam yang tidak hanya berdampak pada masing-masing individu yang melaksanakannya, tetapi juga pada lingkungan yang jauh lebih luas termasuk sebagai sumber dakwah pada kaum non muslim.
Kita dapat belajar dari negara-negara lain, seperti Arab Saudi, Mesir, Irak atau bahkan Malaysia dan Singapura. Mereka tetap bersatu dalam penetapan awal dan akhir ibadah ramadhan, iedul fithri maupun iedul adha, meskipun kerap juga berbeda dengan negara lain. Padahal kita tahu berapa banyak ahli hisab dan ahli rukyat yang ada di sana, dengan pendapat dan ijtihad masing-masing yang tentu saja berbeda-beda, tetapi tidak kita dengar ada dua kali shalat ied di negara-negara tersebut. Tidak kita dengar adanya kebingungan masyarakat dalam memilih harus berpuasa atau berlebaran ikut kelompok yang mana.
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa : Mereka tidak berbeda bukan berarti tidak ada perbedaan. Tetapi, merekatidak berbeda karena tidak ingin terjadi perbedaan. Persatuan lebih penting dibanding harus mempertahankan hasil ijtihad yang bisa benar dan bisa salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H