Mohon tunggu...
novita djie
novita djie Mohon Tunggu... -

passionate in copywriting and branding

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potensi Sastra Indonesia di Kancah Dunia

19 Mei 2011   13:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:27 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bicara tentang sesuatu yang ‘paling Indonesia’, dan membanggakan Indonesia, pikiran saya sebagai seorang pecinta buku melayang pada cerita seorang teman yang tinggal di Jerman. Teman itu pernah bercerita betapa bangganya ia melihat seorang bule yang kebetulan satu kereta dengannya sedang membaca buku Bumi Manusia, edisi Bahasa Jerman tentunya.

Pramoedya Ananta Toer adalah penulis buku itu. Satu nama yang dalam keterbatasannya sebagai ‘narapidana’ mampu mengukir prestasi di kancah internasional. Ia dipuja di luar negeri, mendapat berbagai penghargaan dari berbagai negara. Namun, di dalam negeri, ia adalah tahanan 3 masa pemerintahan yaitu semasa kolonial, orde lama, dan orde baru. Ia banyak menuai kontroversi. Beliau lahir di Blora (Jawa Tengah), 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta, 30 April 2006. Semasa hidupnya beliau menulis lebih dari lima puluh karya, mulai dari novel fiksi, semi fiksi, hingga semi otobiografi dan kumpulan cerita. Karya Pramoedya Ananta Toer dikenal tidak hanya sebatas pada lingkup sastrawan Indonesia atau pecinta sastra Indonesia, namun juga dikenal dunia. Karyanya diterbitkan dalam lebih dari 41 bahasa.

Karya Pramoedya yang masih sangat sering disebut-sebut saat ini salah satunya adalah Tetralogi Pulau Buru, atau dikenal juga Tetralogi Bumi Manusia, karena buku pertamanya berjudul Bumi Manusia. Roman Tetralogi Buru mengambil latar belakang dan cikal bakal negara Indonesia di awal abad ke-20. Melalui buku ini,Pramoedya mengangkat sosok Minke, pemuda priyayi yang hidup di era awal mula pergerakan nasional, yang berusaha keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, namun juga di sudut lain berusaha membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol sekaligus kiblat dari ketinggian pengetahuan dan budaya pada masa itu.

Selain tetratrologi Bumi Manusia, Pram juga menulis beberapa buku yang terkenal hingga keluar negeri, antara lain: Gadis Pantai, Nyanyian seorang bisu I, dan II, Di Tepi Kali Bekasi, Jalan Raya Pos Jalan Daendels, dan Arok-Dedes. Tulisan-tulisan Pram cenderung bernuansa realis dan mempunyai kemampuan untuk membawa pembaca ke alam layaknya menonton sebuah film yang kaya detail. Kemampuan ini berasal dari banyaknya pengaruh karya-karya penulis dunia yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pram pernah menerima The PEN Freedom-to-write Award pada 1988, Nobel Prize for Literature nomination dan Ramon Magsaysay pada 1995, Honorary Doctoral Degree from University of Michigan, Ann Arbor pada 1999, Chevalier de l'Ordre des Arts et des Lettres Republic of France dan Fukuoka Asian Culture Grand Prize, Fukuoka, Japan, pada 2000, The Norwegian Authours Union pada 2004, dan masih banyak  penghargaan internasional lainnya.

Melihat betapa luar biasanya sosok Pramoedya Ananta Toer dalam dunia sastra Indonesia, saya sebagai pecinta buku mau tak mau langsung membandingkan prestasinya dengan kondisi sastra Indonesia pada masa kini. Ada banyak penulis muda yang lahir pada hari-hari dimana teknologi digital mewabah bagai jamur di musim penghujan ini. Ada cukup banyak yang karyanya berbobot, ada pula yang hanya menulis cerita populer remaja-dewasa, atau yang lebih menyentuh sisi budaya. Banyak diantara karya-karya itu yang bagus. Sebut saja Nh. Dini, S. , Mira W. , dan Remy Sylado yang menjadi jaminan sebagai karya-karya yang mempunyai kualitas penulisan yang bermutu. Belum menyebut nama Marah Rusli, Ahmad Tohari dan kawan-kawan tentunya. 

Ada banyak pula penulis muda seperti Agnes Jessica, Esti Kinasih, yang populer di kalangan pecinta novel populer. Bahkan saat ini ada komunitas The Hermes, yang beranggotakan 23 penulis muda dan 4 orang personel band yang tertarik pada dunia penulisan. The Hermes mengkhususkan diri mereka untuk membuat kolaborasi karya untuk amal. Namun entah mengapa bisa dikatakan 90% dari penulis Indonesia saat ini seolah tidak terdengar di luar negeri. Belum ada yangbisa menyamai Pram. Baru-baru ini saya menyelesaikan membaca sebuah novel yang juga menuai penghargaan di luar negeri, judulnya Of Bees and Mist (Kabut Masa Lalu). Penulisnya bernama Erick Setiawan, dan hingga berusia 16 tahun ia tinggal di Indonesia. Namun karyanya lebih dulu terbit di Amerika dan mendapat banyak sorotan publik hingga ke Eropa. Dari membaca novel inilah saya berpikir bahwa sebenarnya Indonesia mempunyai potensi yang luar biasa dalam bidang sastra, namun ada “faktor X” yang menghambat gaung sastra Indonesia di luar negeri. Entah kapan suatu saat bisa terpampang lagi nama anak bangsa yang dibicarakan dalam lingkungan sastra dunia. Saya bilang, belum ada yang menyamai Pram dan saya menantikannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun