Mohon tunggu...
novita djie
novita djie Mohon Tunggu... -

passionate in copywriting and branding

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebongkah Asa Untuk Negeri

26 Mei 2011   14:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:11 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada banyak berita kerusuhan yang mewarnai media masa Indonesia. Mulai dari kerusuhan antar umat beragama, antar umat seagama, kerusuhan pelajar, mahasiswa, politikus, dan lain-lain. Terkadang saat membaca berita-berita itu, atau menontonnya di televisi, ada perasaan tidak nyaman yang menyelinap di hati saya. Terus terang, saya terpikirkan dampak-dampak dari penayangan berita itu lebih lanjut pada masyarakat Indonesia.

Ditambah, tak hanya dalam berita, banyak pula adegan kekerasan ditampilkan dalam fim maupun sinetron Indonesia. Memang, penonton sinetron itu kebanyakan adalah ibu-ibu dan pembantu rumah tangga yang suka mendramatisir sesuatu. Namun ada banyak juga remaja Indonesia yang menontonnya. Saya tidak akan membahas mengapa produser dan stasiun TV memilih untuk menayangkan hal-hal seperti itu. It’s all about money.

Indonesia adalah salah satu negara multi-etnis yang terbesar di dunia. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dan beberapa pasal dalam Undang Undang Dasar 1945 nampaknya sudah sedikit-banyak dikhianati oleh putra-putri bangsa. Kerap kali emosi mendahului akal sehat dalam bertindak. Dengan dikompori tayangan-tayangan ataupun berita itu, makin besarlah potensi konflik yang bisa ditimbulkan, tak cuma konflik di kalangan yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, tapi juga konflik di kalangan cendekia. Kerusuhan atau perkelahian yang terekam di berbagai media itu sebenarnya didasari dari dua hal. Pertama adalah kepentingan, alias ego. Kedua adalah prasangka.

Baru-baru ini saya membaca sebuah buku yang sangat bagus mengenai prasangka, dan buku ini membuat saya berpikir alangkah benarnya apa yang disampaikan oleh penulis buku ini. Saya tidak berminat berjualan buku dalam postingan saya, karena saya tidak memiliki keterkaitan apapun dengan penerbit maupun toko buku. Saya hanya ingin membagikan sedikit dari apa yang telah saya dapatkan setelah membaca To Kill a Mockingbird.

Dalam To Kill a Mockingbird, dikisahkan perbedaan ras dan golongan sebenarnya masih ada di Maycomb County, Alabama. Hanya saja, perbedaan ras di sini tidak sampai menimbulkan kerusuhan, tapi menimbulkan prasangka dari dan terhadap golongan-golongan itu. Jika ada seseorang yang tertutup, ia akan dianggap aneh, dianggap hantu, dan dianggap pembawa sial bagi kota itu. Puncaknya adalah ketika seorang pengacara kulit putih, seorang pria berintegritas dan menjunjung tinggi pluralisme, diberi tugas oleh pengadilan negerinya membela seorang terdakwa kulit hitam atas dasar tuduhan memperkosa seorang wanita kulit putih. Terdakwa ini terancam hukuman mati, padahal ia tidak melakukan tidakan perkosaan disertai kekerasan itu. Pengacara ini dan keluarganya dicerca oleh warga kota. Namun,pengacara ini berhasil membuktikan pada penonton sidang bahwa terdakwa memang tidak bersalah. Sayangnya, keputusan bersalah atau tidak diserahkan bukan kepada hakim, melainkan pada dewan juri. Dewan juri itu beranggotakan warga kulit putih, dan di kalangan warga kulit putih, semua orang kulit hitam memang 90% tidak beres. Juri memutuskan bahwa terdakwa bersalah. Ini akhirnya membuat putra sulung pengacara itu kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan keadilan.

Jika saya berada pada posisi anak itu, tentu saya juga akan bereaksi sama. Sekarang pun,saya hanya punya sebatang lilin harapan saya untuk kemajuan Indonesia karena banyaknya ketidak adilan terjadi di sekitar saya. Ditambah berbagai pemberitaan yang mewarnai media, yang kebanyakan tidak berimbang. Ketidak berimbangan ini pada akhirnya akan membentuk perspektif masyarakat dan menimbulkan prasangka terhadap kaum yang tidak sepaham dengan golongan tertentu. Prasangka dari rakyat terhadap pemerintah. Prasangka dari kaum A ke kaum B. Dan ditambah yang telah saya singgung diatas, implikasi dari prasangka tersebut. Kalimat-kalimat yang dipelintir. Berita yang tidak berimbang. Reaksi berlebihan atas suatu isu. Debat tanpa pemahaman konsep menyeluruh dan objektif. Kebencian. Anti pada golongan tertentu. Tawuran. Perkelahian. Kerusuhan. Kejahatan. Ketidak adilan. Bahkan secara ekstrim menimbulkan pemberontakan kecil dalam wadah NII.

Mari kita merenungkan sejenak beberapa kalimat yang saya kutip dari bacaan yang mencerahkan saya ini:

“Yang kita ketahui, Tuan-Tuan, adalah bahwa asumsi tersebut adalah kebohongan sehitam kulit Tom Robinson, kebohongan yang tak perlu saya tekankan pada Anda. Anda tahu kebenarannya, dan kebenarannya adalah begini: sebagian orang Negro berbohong, sebagian orang Negro tak bermoral, sebagian orang Negro berbahaya bagi perempuan—yang berkulit hitam maupun putih. Tetapi, kebenaran ini berlaku bagi seluruh umat manusia dan tidak khusus pada satu ras saja. Tak ada orang di ruang pengadilan ini yang belum pernah berbohong, yang belum pernah berbuat amoral, dan tak ada
lelaki hidup yang tak pernah memandang seorang perempuan dengan hasrat.”

“Kata paman Jack Finch, kita tidak benar-benar tahu. Katanya, sejauh yang bisa dia telusuri dari sejarah leluhur keluarga Finch, kita bukan Negro, tetapi cuma dari pengetahuannya. Kita bisa saja berasal dari Etiopia semasa perjanjian lama.”

“Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.”

“Atticus pernah bilang, alasan bibi kita begitu menonjolkan keluarga adalah karena yang kita miliki hanyalah latar belakang”

“Kalau hanya ada satu jenis manusia, mengapa mereka tidak bisa rukun? Kalau mereka semua sama, mengapa mereka merepotkan diri untuk saling membenci?”

Bukankah setiap manusia itu diukur dari bagaimana ia berlaku sebagai seorang manusia? Tidak bisa memilih dimana ia dilahirkan atau bagaimana ia dibesarkan, namun setiap orang dewasa bisa memilih apa yang bisa ia lakukan. Ia berhak dan wajib menentukan sendiri cara hidupnya. Siapa yang tak mau diberi cap dan dihakimi, hendaknya tidak memberikan cap dan penghakiman untuk sesamanya. Tidak ada manusia yang bisa suci dari kesalahan, namun bukan berarti itu alasan untuk kita tidak melakukan yang kita tahu benar. Mari tidak menebarkan kebencian dan prasangka dan menambah pelik permasalahan di Negara Indonesia. Bisakah kita menyalakan lilin pengharapan itu bersama-sama?

Novita.

Penulis adalah seorang Blogger Buku Indonesia

http://mymilkyway.blogdetik.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun