Pasal 7 ayat (2) huruf t Undang -Undang Nomor 10 Tahun 2016 sangat tegas mengatur bahwa TNI, Polri, PNS, pegawai BUMN dan BUMD, Kepala Desa dan anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencalonkan dirinya menjadi kepala daerah diwajibkan mengajukan pengunduran diri dari jabatannya.
Tidak sedikit orang yang rela mencurahkan seluruh dayanya untuk menjadi kandidat Gubernur walaupun harus melepas status mereka sebagai pejabat TNI, Polri, PNS, pegawai BUMN, anggota DPR, DPD dan DPRD yang sebenarnya dianggap "nyaman". Bukan itu saja, untuk menjadi kandidat gubernur perlu menyiapkan biaya politik yang jumlahnya tidak sedikit. bagi kandidat gubernur yang tidak total mempersiapkan biaya politik, maka siap-siap menerima kekalahan. Setidaknya biaya politik digunakan untuk mengerakkan mesin parpol, mendatangkan juru kampanye nasional dan biaya transportasi dan akomodasi selama menjadi kandidat gubernur.
Menurut Basuki Tjahaja Purnama (kandidat gubernur pilkada 2017), biaya yang dibutuhkan dirinya menghadapi pilkada DKI Jakarta mencapai Rp 26 miliar dengan perhitungan setiap pengurus parpol tingkat anak ranting di kelurahan membutuhkan dana operasional minimal Rp 10 juta per bulan, dikalikan dengan 267 kelurahan dan dikalikan 10 bulan. hitung-hitungan ini belum termasuk kebutuhan dana untuk pengurus parpol ranting di kecamatan. Belum lagi jika parpol yang mengusungnya tidak hanya satu.
Data litbang Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa biaya politik yang mesti dikeluarkan oleh setiap kandidat gubernur pada pilkada 2015 berkisar antara 20 -- 100 milyar. Besarnya biaya politik ini tidak dipungkiri nantinya akan memunculkan praktik korupsi yang akan menciderai perwujudan pemerintahan provinsi yang baik dan bersih, karena biaya politik yang dikeluarkan untuk menjadi kandidat gubernur tampaknya jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan resmi ketika menjadi gubernur.
Gubernur terpilih tentu berusaha untuk membayar tuntas semua pengeluarannya selama pilkada yang telah dikeluarkan, baik dana pribadi maupun dari sponsor yang mendukungnya. Karena gubernur terpilih berusaha keras untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, maka sangat wajar apabila ada pernyataan akademis yang mengatakan dampak adanya pilkada terhadap munculnya korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah mencapai angka 80,5%.
Dibalik kian memanasnya suhu politik, kita berharap pilkada Sumsel tetap kondusif, berjalan aman dan nyaman sehingga pembangunan yang telah diprogramkan terus berjalan lancar. Jangan sampai pilkada menghambat stabilitas pertumbuhan ekonomi di Sumsel. Jangan sampai ada kandidat gubernur yang ingin menang pilkada dengan menyerang kandidat lain melalui black campaign (salah satunya menggunakan isu SARA) atau negatif campaign, baik secara langsung maupun menyuruh pihak lain, khususnya melalui media sosial.
Pilkada merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi, mari kita wujudkan tujuan utamanya, yaitu untuk mendapatkan pemimpin yang baik dan berkualitas untuk kesejahteraan daerah. Akankan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan KPU memfasilitasi debat publik, penyebaran bahan kampanye dan pemasangan alat peraga kampanye dengan sumber pendanaan dari APBN dan melarang rapat umum karena adanya pengerahan massa yang membutuhkan biaya yang besar dapat menekan korupsi oleh gubernur terpilih ? Mampukah peraturan perundangan-undangan tersebut melahirkan gubernur yang inovatif, memiliki kompetensi dan integritas yang mumpuni dan dibutuhkan didaerah ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H