Mohon tunggu...
Noperman Subhi
Noperman Subhi Mohon Tunggu... ASN -

Noperman Subhi, S.IP, M.Si, lahir di Pagaralam (Sumsel) 13 november 1969. Lulus S1 Ilmu Pemerintah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan S2 Magister Administrasi Pendidikan di Universitas Sjakhyakirti. Sekarang Sebagai ASN di Dinas Pendidikan Sumsel. Aktif menulis artikel dan cerita Pendek. Karya tulis yang pernah diterbitkan, “Musim Kopi dan Gaya Hidup” (2001), “Jas Biru Dewan” (2002) dan “Memotret Guru Dari Kejauhan” (2016), “20 Kegagalan Menembus Publikasi” (2017) dan “Motor Matik Milik Bapak (2017).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gerakan Literasi di Sumsel

19 November 2017   07:50 Diperbarui: 19 November 2017   07:58 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun kata literasi tidak asing lagi bagi sebagian orang yang terlibat pada dunia pendidikan, khususnya para guru dan peserta didik. Untuk tingkat literasi peserta didik indonesia, masih jauh tertinggal dari peserta didik negara lainnya, peserta didik Indonesai belum kompetitif. Namun masih banyak diantara mereka yang tidak paham akan makna literasi itu sendiri. 

Literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks pendidikan,Indonesia nampaknya lebih senang menggunakan istilah pengajaran bahasa atau pelajaran bahasa daripada menggunakan istilah literasi. Pada masa itu, membaca dan menulis atau dengan istilah lain, melek aksara, dianggap cukup sebagai pendidikan dasar bagi manusia guna menghadapi tantangan zaman dan kerasnya kehidupan. Seorang dapat dikatakan literat apabila dia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.  

Berdasarkan data dari Association For the Educational Achievement(1992), Jepang dan Finlandia termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Sedangkan Indonesia masuk pada peringkat dua terbawah dari dari 30 negara. Survei dari Program for International Students Assessment(PISA) tahun 1997, Indonesia menempati peringkat 40 dari 41 negara. Pada tahun 2000 Indonesia menempati peringkat 64 dari 65 negara yang di survei. Data statistik UNESCO tahun 2012 menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca.  

Penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (2016) menempati Indonesia pada posisi 60 dari 61 untuk negara dengan tingkat literasi terbaik di dunia. Indonesia hanya satu tingkat lebih baik dari Republik Botswana, sebuah negara di Afrika bagian selatan. Data ini cukup mengambar bahwa budaya literasi di Indonesia sangat kurang. Bahkan Indonesia kalah tingkat literasinya dibandingkan dengan sejumlah negara ASEAN.

Penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulung punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Makna literasi pun semakin berkembang dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan zaman. Istilah literasi sekarang ini tidak sebatas menbaca dan menulis, tapi telah berkaitan dengan persoalan sosial dan politik dan memunculkan definisi baru tentang literasi. Kata literasi pun banyak disandingkan dengan kata-kata lain, misalnya literasi komputer, literasi matematika dan sebagainya.

Makna literasi yang semakin berkembang, ternyata berbanding terbalik dengan kemajuan budaya literasi di Indonesia. Indonesia negara tertinggal cukup lumayan dibanding beberapa negara. Misalnya dengan negara Vietnam. Penyebabnya, karena budaya literasi mayarakat Indonesia masih sangat rendah. 

Indonesia merupakan negara yang kurang daya bacanya dalam literacy purpose. Kebanyakan orang Indonesia membaca atas dasar information purpose. Tingkat pendidikan di indonesia yang masih rendah juga bagian dari faktor yang mempengaruhi keterbelakangan bangsa indonesia dalam budaya literasi. Dengan demikian tampaknya susah Indonesia untuk menyusul ketertinggalan dalam literasi ? Pendidikan merupakan ujung tombak budaya literasi dan menjadi kunci dalam keberhasilan budaya literasi. Dengan tingkatan budaya literasi yang masih rendah, membuat bangsa Indonesia sangat gelisah karena itu diperlukan usaha khusus demi mengejar ketertinggalan tersebut dari negara-negara lain.                                                                       

Pendidikan merupakan ujung tombak budaya literasi dan memang menjadi kunci dalam keberhasilan budaya literasi. Di skala internasional, tingkat literasi peserta didik indonesia masih jauh tertinggal dari peserta didik negara lainnya. Peserta didik Indonesai belum kompetitif. Karena itu diperlukan usaha khusus demi mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia dari negara-negara lain

Salah satunya jalan untuk mengejar ketertinggalan dan meningkatkan mutu budaya literasi di Indonesia adalah dengan cara melakukan rekayasa. Rekayasa literasi adalah upaya disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah portal menuju pendidikan dan pembudayaan.

Dalam rangka menumbuhkan Budi Pekerti peserta didik, Pemerintah Indonesia melalui kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan sebuah gerakan yang disebut Gerakan Literasi Bangsa (GLB). Gerakan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Tujuannya adalah agar peserta didik memiliki budaya membaca dan menulis sehingga tercipta pembalajaran sepanjang hayat. 

GLB dirancang untuk membiasakan peserta didik gemar membaca dan menulis. GLB mengambil model penumbuhan budi pekerti 15 menit pertama sebelum pelajaran dimulai, sebagaimana yang dituangkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015. Modelnya adalah membaca, mengkonstruksi, dan menulis kembali hasil bacaan dan bahan bacaan yang nanti disiapkan tentunya relevan dengan perkembangan psikologi dan kecerdasan peserta didik. GLB merupakan kegiatan ekstrakurikuler bukan intrakurikuler, jadi tidak menambah jam belajar yang sudah ada.

Saat ini, GLB difokuskan untuk peserta didik di Sekolah Dasar (SD,) selain karena anggaran terbatas  ---untuk semua jenjang pendidikan, karena SD merupakan titik awal untuk memulai menumbuhkan dan berupaya meningkatkan kapasitas kecakapan berbahasa Indonesia melalui membaca dan menulis. Selain SD, sasaran lainnya adalah komunitas di masyarakat yang setingkat dengan usia SD, seperti anak putus sekolah. 

Untuk itulah, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membangun ekosistem budaya literasi di GLB yaitu melibatkan dinas pendidikan, sekolah, komunitas, perguruan tinggi, Ditjen PAUD/DIKMAS dan duta bahasa sebagai fasilitator. Tahun 2016 dijadikan sebagai tahun percontohan, pelaksanaannya untuk setiap provinsi diwakili oleh satu SD dan satu komunitas. 

Tahapannya adalah menyediakan bahan ajar, menyusun pedoman GLB, melatih tenaga/fasilitator literasi, melaksanakan pembelajaran literasi, dan puncaknya pada tanggal 28 Oktober 2016 akan diadakan Olimpiade Literasi. Olimpiade literasi itu adalah hasil dari proses GLB tadi. Pesertanya adalah peserta didik SD dan komunitas yang sudah mengikuti pembelajaran literasi.  

MI Al-Istiqomah menjadi sekolah pertama yang menerapkan konsep pengembangan sekolah literasi yang ada di Sumatera Selatan. Program yang diinisiasi oleh Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa ini fokus pada pengembangan sistem pembelajaran dan budaya sekolah literasi. Sementara itu, SMA Plus Negeri 17 Palembang di tunjuk oleh Kemendikbud sebagai sekolah rujukan literasi di Kota Palembang. Penunjukkan ini dikarenakan SMA Negeri 17 Palembang memiliki program Bugemm. Program Bugemm merupakan upaya membina dan memotivasi peserta didik untuk dapat menulis ilmiah. Gerakan budaya literasi di SMA Negeri 17 Palembang mulai dilakukan sejak tahun 2000 dan kegiatan ini yang berkaitan erat dengan budaya membaca dan menulis telah dijadikan salah satu kegiatan ekstrakurikuler unggulan. 

Dalam satu semester, peserta didik diwajibkan membuat karya tulis  dengan cara mengajukan judul tulisan mulai dari bidang sosial, ilmu alam, eksperimen, penelitian sosial dan lainnya dengan sejumlah referensi, lalu dikerjakan secara bertahap. Di akhir semester, hasil karya tulis ilmiah peserta didik dipresentasikan kepada penguji yang ditunjuk oleh pihak sekolah. Sementara itu, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Palembang menunjuk SMA Negeri 5 Palembang sebagai sebagai Pilot Project Gerakan Literasi Sekolah di Palembang.

Selain di MI Al-Istiqomah dan di SMA Negeri 17 Palembang, SMA Negeri 5 Palembang, ada enam sekolah di Bumi Serasan Sekundang yang melakukan gerakan literasi. Yakni SMA Negeri 1 Unggulan Muara Enim, SMA Negeri 2 Muara Enim, SMA Negeri 1 Gelumbang, SMA Negeri 1 Gunung Megang, SMA Ngeri 1 Lawang Kidul, dan SMA Bukit Asam.

Gerakan literasi di SMA Negeri 17 Palembang telah memberikan nilai positif. Beberapa peserta didik diantaranya berhasil meraih sejumlah prestasi di tingkat nasional diantaranya : Juara 2 Creanovation Award dari Universitas Dian Nuswantoro, The Best Ilmiah dalam even The Young Scientist Conference dari Surya Institut dan meraih juara untuk even Chemfest yang digelar Politeknik Bandung. Tujuan utama gerakan literasi adalah  mengajak peserta didik untuk hidup lebih cerdas. Gerakan literasi menekankan bahwa betapa pentingnya peserta didik membaca dan menulis. Gerak literasi dapat menciptakan, mendukung dan memajukan ekosistem pendidikan yang lebih cerdas, kreatif dan produktif.

Dibalik masih banyak pendidik yang belum sepenuhnya menyadari pentingnya gerakan literasi di sekolah, pendidik harus memberikan contoh agar peserta didik rajin membaca. Disela-sela kegiatan belajar mengajar atau pun di kalah istirahat, pendidik mestinya memperlihatkan ketauladanan pada peserta didik bahwa mereka rajin atau selalu membaca. Bagi pendidik yang sudah sertifikasi harus mengalokasikan dana untuk membeli buku-buku untuk menambah wawasan keilmuan. Gerak literasi pun bukan sekedar menyuruh peserta didik sebatas membaca, lalu meninggalkannya atau hanya menyuruh peserta didik menjawab pertanyaan di buku sebagai tugas. Kegiatan membaca yang efektif tentu harus memiliki strategi.  

Dengan adanya gerak literasi, Kemendikbud telah memberlakukan aturan baru bagi para peserta didik untuk membaca sebelum pelajaran pertama dimulai selama 15 menit (idealnya 30 menit) yang tujuannya tentu saja untuk meningkatkan dan membiasakan peserta didik membaca dan yang lebih penting bertujuan untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis literasi. Sepertinya penjalanan gerakan literasi di Sumatera Selatan masih panjang karena hanya gelintir sekolah yang peduli dengan gerakan ini. Selain dilihat dari jumlah sekolah yang dikukuhkan atau mengukuhkan diri sebagai sekolah yang berbudaya literasi, hasil karya pendidik atau peserta yang jadi rujukan keberhasilan gerakan literasi, khususnya karya tulisan atau karya ilmiah, sangat minim sekali. Seandai ada pun sifatnya insidental dan keterpaksaan, seperti adanya persyaratan untuk naik pangkat atau ketika ada perlombaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun