Ada yang pulang,
memikul jala dipundaknya, membawa cinta dan kerinduan yang masih sama. Menuju matahari terbenam, selepas camar-camar menjadi beberapa titik di udara.
Itu, mereka yang berangkulan, dan pulang kesarang.
Kehangatan sekaligus kecemburuan, yang tidak ingin disaksikannya setiap senja tiba.
Dia yang tak jemu-jemu, pergi dan kembali untukmu. Dengan cinta yang tidak pernah terbagi,
ah barangkali rindu memang sudah usang. Atau pelukannmu kah itu, yang tidak lagi sehangat dulu?
Sehabis Senja, kulihat dia memetikkan gitar tua. Dibalik senar-senarnya ada stiker kecil, ada kata saya, gambar hati juga namamu. dilantunkannya irama kerinduan yang sangat dalam. Sambil sesekali menyeruput teh buatannya sendiri.
Tiap kali irama gitar melemah, tiap kali itu pula ia menarik nafas yang sangat panjang. Seperti, penyair yang kelelahan menyudahi ingatan yang jauh,
sejauh dekapanmu kini.
Ah,,, itu terlalu melelahkannya. Mengapa tidak kau bawa saja dia bersamamu, seperti dahulu. Seperti lenganmu, yang menggelayut manja dilengannya. Seperti janjimu, yang akan tetap setia bersamanya.
Ah sepertinya cinta pun tak abadi, seabadi kau di ingatannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H