SURAT RAHASIA UNTUKMU: IBU
: Kepada ibu
Semoga saja, sesampainya suratku ini
Engkau tidak lagi suka marah-marah
Menyuruhku ini dan itu yang tidak sekalipun menggunakan nada rendah, tetapi melebihi volume radio tape yang sering engkau putar ketika sedang berbenah rumah
masih jelas terekam diingatanku, ketika kau sedang beradu mulut, lewat pertengkaran-pertengkaran dengan kekasihmu, lalu saling diam dalam beberapa waktu.
Sepanjang hari, engkau akan menyetel suara pance pondang, seakan memenuhi isi rumah, dengan tembang-tembang kenangan.
Entahlah, engkau sedang berbahagia atau sedang bersedih saat itu, sebab kulihat engkau begitu kusyuk mendengarkan tiap bait, lirik lagu pondang merobek-robek hatimu.
Sesekali, kulihat engkau tersenyum sedemikian manis, sebelum disepasang matamu engkau menitikkan gerimis.
Seharusnya, aku lebih faham waktu itu.
Bagaimana engkau, menyembunyikan kesedihan lewat airmukamu, yang selalu tampak bening ketika bertatapan denganku. Harusnya aku lebih pintar mengeja, bagaimana engkau memikirkan hal-hal sederhana, yang terkadang kekasihmu sebut sebagai sesuatu yang dibesar-besarkan.
"kita perlu hemat, dengan lima puluh rupiah setiap hari, menahan setengah jengkal, untuk memperpanjang jengkal-jengkal berikutnya"
“Seperti kebahagiaan, yang tidak harus kamu habiskan dalam sehari.
Ataupun kesedihan yang tidak mesti kamu tuntaskan dalam jangka waktu yang singkat sekali. Tabunglah hal baik hari ini, agar kau temui dilain hari” katamu!!
Sejujurnya, aku lebih suka mengiyakan saja, memilih berdamai dengan ocehanmu yang terkadang menyebalkan sekali. Dan mungkin juga dilakukan kekasihmu, saat engkau selalu mengucapkan kata-kata itu, ketika dia meminta sedikit kebahagiaan, untuk berbagi kesenangan dengan pemilik warung diujung jalan. Yang semata-mata, menurutmu itu hal yang bisa kau sediakan. Seperti membuatkan kopi seharga tiga ribu, atau untuk sekedar mendengarkan teriakan yang begitu ramai, ketika Raul Gonzales berhasil mempertemukan bola kedalam pelukan gawang lawan.
Entahlah, itu ingatan yang buruk atau yang baik.
Sebab kulihat kekasihmu, setelah kau pergi jauh, dia lebih suka berdiam dirumah, menyaksikan kaki-kaki di layar kaca sedang memperebutkan kebahagiaan, sesekali di seruputnya seduhan resep rahasia, yang pernah berhasil membuatnya mencintaimu, dan memelukmu sedemikian lama. “Dua sendok gula, sesendok kopi, dan cinta yang tak pernah habis” katamu.
Dalam waktu lima belas menit, setelah empat puluh lima menit berhasil mengabaikanmu, dia lebih suka memikirkanmu, diam dan tersenyum seperti sedang mengingat sesuatu.
Aku kira, dia tidak sedang berbahagia atas kepergianmu, tetapi dia sedang berhasil menemukan sedikit kebahagiaan lain ketika mengingatmu, teriakanmu, pun kata-kata yang pernah mengesalkan hatinya pun aku. Disana, dibayangkannya kau sedang berteriak, dari dapur, keruang tamu, sampai kepintu dimana sepasang tangan saling melambai, lalu menciptakan pedihnya rindu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H