Bagi generasi sekarang yang terlahir setelah Indonesia merdeka, maka judul di atas pasti terdengar aneh. Tapi kalimat ini biasa bagi generasi-generasi tua yang sempat mengenyam kehidupan di bawah penjajahan Belanda. Sebuah kalimat cibiran bagi orang-orang yang sombong dengan posisi dan status sosial mereka di dalam masyarakat. Bagaimana sebuah kesombongan bisa diasosiasikan dengan sepasang sepatu yang hakikatnya hanyalah sebuah benda yang selalu di injak-injak? Jawaban dari pertanyaan ini ternyata berhubungan dengan sejarah penggunaan alas kaki pada masyarakat Indonesia.
Sepatu dan sandal bukanlah produk asli budaya Nusantara. Bisa kita lihat dalam relief-relief candi yang tersebar di tanah air, semua terukir jelas bahwa nenek moyang kita itu dahulu selalu bertelanjang kaki. Bisa dimaklumi sebagai masyarakat agraris yang berlokasi di daerah tropis yang tidak memiliki musim dingin, maka alas kaki tidak pernah terpikir untuk digunakan.Kondisi cuaca tropis yang lembab dan panas membuat nenek moyang kita lebih merasa nyaman bertelanjang kaki. Penggunaan sendal baru disebut dalam cerita Ramayana. Dimana diceritakan bahwa Bharata menyusul sang kakak Sri Rama kedalam hutan untuk memintanya kembali dan memerintah kerajaan Ayodia. Namun ditolak Sri Rama karena dia telah bersumpah mengikuti perintah ayahnya untuk tidak kembali hingga 14 tahun kemudian. Sri Rama malah menyuruh adiknya,Bharata, untuk kembali ke kerajaan dan memerintah di sana dengan adil dan bijaksana. Namun Bharata yang tidak berkeinginan untuk menjadi raja kemudian malah meminta sendal Sri Rama sebagai pengganti kehadiran dirinya. Sendal itu kemudian diletakkan di atas singgasana kerajaan. Dan semua keputusan yang diambil Bharata dianggap datang langsung dari Sri Rama melalui perantaraan sendalnya. Dalam bahasa sansekerta, sendal disebut PADUKA yang merupakan paduan dari kata “PADA” yang berarti kaki dan “KA” yang bermakna kecil. Sehingga sendal yang diletakkan di atas singgasana tersebut mendapat sebutan “PADUKA SRI RAMA”, sendalnya Sri Rama.
Sendal paduka yang terbuat dari kayu (dengan sebentuk tombol yang harus dijepit dengan jempol dan telunjuk kaki) ini menyebar dari tanah India masuk ke nusantara seiring dengan penyebaran agama hindu di kerajaan-kerajaan di tanah air. Sendal yang dianggap sebagai gambaran perwakilan restu Sri Rama yang merupakan titisan Dewa Wisnu ini hanya boleh dipakai oleh para raja dan orang-orang suci saja. Dan penggunanya kemudian mendapatkan gelar PADUKA di depan nama mereka sebagai gambaran bahwa si pemakai sendal tersebut sama mulianya dengan Paduka (sendal) Sri Rama.
Jadi pada masa itu penyebaran sendal ini hanya terjadi di kalangan atas saja. Sendal yang dianggap sebagai perwakilan restu para dewa itu hanya berhak digunakan oleh pihak yang dianggap titisan dewa. Sedangkan rakyat biasa tetap harus bertelanjang kaki. Sendal yang fungsi utamanya untuk melindungi kaki bertambah peran menjadi tanda pengenal antara kelas penguasa dengan bawahannya
Sapato dar Portugis
Masuknya sepatu ke Nusantara ditenggarai melalui interaksi perdagangan dengan bangsa-bangsa yang telah mengenal budaya bersepatu seperti Tiongkok dan Arab. Namun sepertinya orang Portugis yang membuat sepatu itu menjadi popular di Nusantara. Ini dibuktikan dengan digunakannya kata Sepatu didalam Bahasa Indonesia sampai saat ini. Kata sepatu sebenarnya berasal dari Bahasa Portugis yaitu sapato.
Kehadiran Portugis kemudian digantikan tetangga satu benuanya yaitu Belanda yang lebih agresif dalam menjalankan kolonialisme di Nusantara. Karena tujuan kolonialisme dan feodalisme itu adalah sama yaitu mempertahankan kekuasaan yang mutlak atas daerah yang mereka kuasai, maka Belanda kemudian mengadopsi nilai-nilai feodalisme yang telah ada di Nusantara. Salah satu nilai itu adalah penggunaan alas kaki yang hanya diperuntukkan bagi kelas atas saja.
Rasa hormat rakyat jelata kepada Paduka (sendal) Raja kemudian dialihkan kepada bangsa Belanda yang bersepatu dikarenakan Raja-raja tersebut kemudian takluk dibawah kekuasaan bangsa Belanda. Dan seiring dengan begitu lama dan kuatnya cengkraman kolonialisme bangsa Belanda maka secara perlahan para raja-raja itu kemudian turut mengadopsi sepatu sebagai pengganti sendal dengan tetap mempertahankan gelar paduka (sendal) dalam nama mereka. Jejak penggunaan gelar ini sampai sekarang bisa kita lihat pada nama-nama gelar di kerajaan melayu Malaysia walau mereka tidak lagi memakai sendal tersebut.
Untuk mengurus wilayah jajahan yang sangat luas, maka Belanda kemudian mengangkat pegawai-pegawai dari tenaga kerja lokal. Dikarenakan sistem kolonialisme Belanda tidak sekaku sistem feodalisme yang melarang sama sekali lompatan-lompatan antar kelas, maka bangsa Belanda masih mengijinkan rakyat-rakyat biasa yang berbakat dan setia untuk naik kelas menjadi pegawai mereka. Namun perubahan nasib ternyata juga terkadang membawa perubahan dalam tingkah laku orang-orang yang beruntung ini. Mereka menjadi angkuh dan ikut menindas rakyat biasa lainnya. Perubahan sikap inilah yang kemudian melahirkan cibiran “seperti orang baru kenal sepatu”. Sebuah cibiran yang semakin jarang terdengar dikarenakan semakin hilangnya batas-batas kelas dalam kehidupan bangsa ini selepas kemerdekaan 1945.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H