[caption id="attachment_177672" align="alignnone" width="460" caption="Slogannya membangkitkan semangat, produknya membangkitkan penyakit. Kontras, hm?"][/caption]
Pernahkah Anda melihat tayangan iklan pasta gigi khusus gigi sensitif, yang di dalamnya seorang narasumber dokter gigi mengatakan bahwa gigi sensitif berasal dari makanan dan minuman yang dingin dan menyarankan agar menghindari konsumsi sejenis itu? Beberapa waktu kemudian, muncul iklan pasta gigi sejenis yang berasal yang berasal dari produsen pasta gigi yang jauh lebih terkemuka daripada yang pertama, yang di dalamnya seorang model cantik nan seksi menyebutkan bahwa gigi sensitif tidak diakibatkan oleh makanan, melainkan dentin gigi yang terbuka. Bagi kita yang ngeh oleh ambiguitas dari dua produk sejenis ini, mungkin akan timbul kebingungan, mana asumsi yang benar?
Secara logika, kita mungkin akan lebih mempercayai produsen pasta gigi yang pertama, karena narasumbernya adalah dokter gigi yang lebih memiliki kredibilitas dibanding seorang model yang tak tahu apa-apa. Tapi barangkali tak sedikit pula yang mabuk kepayang oleh kecantikan si model di iklan pasta gigi kedua, sehingga lebih memilih “berpihak” padanya. Lagi pula, penuturan si model tentang “dentin gigi yang terbuka” terkesan lebih anatomis dan lebih “cerdas”.
Saya pribadi tidak memihak atau lebih mempercayai salah satunya. Mungkin karena saya bukan konsumen kedua produk tadi. Tapi diam-diam saya agak prihatin juga bila produk yang bersangkutan dengan kesehatan anatomi dijadikan permainan iklan oleh kaum kapitalis, sampai harus menyertakan penuturan yang keabsahannya masih remang-remang.
Saya pernah juga membaca artikel tentang salah kaprah mengenai hujan dan demam. Dalam artikel itu dituturkan bahwa hujan tidak menyebabkan demam, karena demam justru lebih memungkinkan menyerang di musim panas karena pada musim itu kuman berkembang biak lebih pesat. Tapi tetap saja dalam iklan-iklan obat demam, alur ceritanya kebanyakan tak jauh-jauh dari kehujanan, kedinginan, dan jatuh sakit. Saya pun jadi sangsi, mana fakta yang benar?
Yang agak memuakkan mungkin iklan obat maag yang menjamur di bulan Ramadhan. Puasa diasosiasikan sebagai kegiatan yang berisiko tinggi memicu datangnya maag karena keterlambatan makan. Padahal puasa adalah kegiatan agamis yang justru menyehatkan—sesuai dengan janji Allah—sehingga kita tak perlu mengkhawatirkan kesehatan fisik selama misi kita adalah menunaikan ibadah.
Bahasa iklan memang umumnya bombastis. Hal itu sepertinya sudah menjadi peraturan “wajib” dalam dunia periklanan. Sebut saja semboyan-semboyan seperti “rasanya nendang”, “meledak-ledak rasanya”, “wanginya bikin bidadari lupa diri”, dan lain-lain. Memang tak ada yang salah, selama hanya demi kepentingan promosi. Tapi lain ceritanya bila iklan-iklan produk itu memasang bahasa ambigu yang kontradiktif dengan produk lain sejenisnya. Apalagi bila menyangkut kesehatan. Kesehatan adalah barang yang rawan dan mahal harganya. Mempromosikan produk kesehatan dengan bahasa ala kadarnya dan mengandung data-data yang kurang lengkap sama saja dengan PEMBOHONGAN PUBLIK. Apalagi tak jarang mereka bersikap angkuh dan menganggap produknya sangat efektif dalam menyembuhkan. Padahal semujarab apapun obat, tetaplah hanya perantara. Mungkin memang benar di dalamnya banyak unsur penyembuh yang efektif, tapi alangkah baiknya bila kita sebagai manusia tetap percaya bahwa Tuhanlah yang Maha Memberi Kesembuhan. Obat adalah unsur penting dalam menjaga kesehatan, namun selebihnya obat dan produk kesehatan adalah parameter Tuhan dalam menilai kegigihan kita dalam menjalani hidup.
Jadi, saya harap penuturan tentang keampuhan produk mereka itu tak hanya sebagai wacana pemuas telinga, bahasa iklan, atau cuma sebatas tuturan promotif saja, tapi berdasarkan hasil penelitian yang sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Tak hanya sekedar bahasa iklan saja.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H