Mohon tunggu...
nooring tanimartoyo
nooring tanimartoyo Mohon Tunggu... -

be happy

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Rasa Memiliki

1 Januari 2012   16:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:28 2223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebagai manusia pasti kita semua memiliki rasa ingin memiliki, terhadap benda, tanaman, hewan peliharaan atau bahkan manusia sekalipun. Rasa inilah yang membuat kita terikat dan hidup dengan tidak bebas. Pernah saya membaca suatu artikel yang menceritakan tentang seorang biksu yang diberi 2 buah tanaman anggrek oleh rekan sesama biksunya. Biksu tersebut sangat menyayangi anggreknya bagaikan anaknya sendiri. Si biksu bahkan sampai meminta tolong pada salah satu rekannya yang sering bepergian ke luar negeri untuk membelikannya media tanam terbaik dan pupuk terbaik dari negara asal si anggrek. Suatu hari sewaktu si biksu pergi dia lupa bahwa dia pergi dengan meninggalkan si anggrek diluar padahal dengan maksud hanya menjemurnya sebentar. Si Anggrek yang sangat sensitif terhadap cahaya matahari pastilah sekarang sedang menderita pikirnya. Tanpa pikir panjang dia kembali ke kuil dengan terpogoh pogoh secepat yang dia bisa. Tetapi setelah sampai si biksu melihat anggrek kesayangannya sudah layu, daunnya lunglai seperti tak bertenaga. Dengan cepat dia mengambil air dan menyirami si anggrek. Meskipun tidak mati tapi butuh waktu lama bagi si anggrek untuk kembali ke kondisi semula berdaun hijau segar berbentuk bulan sabit dan berbunga indah.

Setelah kejadian ini si biksu menyadari bahwa dia sudah memiliki keterikatan dengan sang anggrek yang membuat dia tidak bebas. Rasa memiliki ini lah yang telah mengikatnya dengan sang anggrek sehingga dia hidup tidak bebas. Maka diapun segera memutus keterikatan dengan memberikan anggrek kesayangannya kepada rakannya. Mulai saat itulah dia tidak memiliki apa-apa dan merasa hidupnya lebih bahagia dan damai.

Membaca artikel tersebut membuat saya berpikir, apakah kita harus melepas segala keterikatan dengan tidak memiliki apa-apa di dunia ini? apakah kita bisa hidup bebas dan lebih bahagia jika tidak memiliki apa-apa?. Mungkin ada benarnya juga, kadang karena rasa memiliki yang sangat besar kita cenderung hidup tidak bebas, selalu takut kehilangan dan serasa hidup dalam ancaman, bahkan yang lebih parahnya mengancam,  berkelahi atau lebih extremnya membunuh orang lain yang sekiranya mau merebut milik kita tersebut. Tetapi yang jadi masalah bisakah kita tidak memiliki apa-apa? atau memiliki tanpa ikatan ?. Saya ambil contoh anjing kesayangan saya toddy dan bawang, setiap saya menelepon orangtua saya yang saya tanyakan pertama kali adalah kabar toody dan bawang, apa mereka sehat?, makannya banyak?, berkutu apa tidak?. Meskipun saya tahu bapak dan ibu merawat mereka dengan baik tetapi saya selalu dihinggapi perasaan cemas. Dan kecemasan inilah tanda-tanda saya hidup tidak bebas. Ataupun kasus pacar saya yang selalu ingin tahu keberadaan saya, bersama dengan siapa,melakukan apa, pulang jam berapa?melarang ini dan itu, membuat saya merasa sebagai tahanan yang wajib lapor.

Dalam konteks islam kita sudah mengenal yang namanya ikhlas, yang dalam pengertian sederhana saya adalah melepaskan segala keterikatan karena apa yang ada di dunia ini bukanlah milik kita tetapi milik Allah SWT. Dengan adanya konsep ini maka kita manusia seharusnya bisa memiliki tetapi menghilangkan perasaan terikat. Tetapi dalam praktek kehehariannya manusia yang ikhlas justru amat sangat ikhlas hingga terkesan cuek, saya ambil contoh seorang kenalan saya yang merasa bahwa anak adalah titipan membiarkan anak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, mendidik lembek  sehingga si anak tumbuh tidak beraturan, bukan saya katakan ini buruk tetapi tidak terplanning dalam meraih kesuksesan menurut standar sosial  masyarakat yang berlaku. Saya jadi ingat kata-kata ibu saya benar anak adalah titipan tetapi kita wajib menjaga, merawat dan mendidik kalau perlu dengan keras agar kelak hidupnya bahagia. Tetapi yang jadi pertanyaan saya lagi bahagia menurut siapa? orangtua kah? anak kah?. Orang tua selalu ingin anaknya menjadi orang sukses di segala bidang, dan pasti akan sangat terpukul jika sang anak tidak menjadi seperti yang mereka kehendaki. Tetapi apakah anak yang sukses tersebut bahagia? Apakah orang tua yang ingin anaknya sukses tersebut merupakan contoh dari salah satu bentuk keterikatan?. Saya sendiri juga tidak tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun