Al Qur'an merupakan kitab suci umat manusia yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari, Untuk memahami Al Qur'an sebagai pedoman hidup sehari-hari terlebih dahulu harus dipahami maknanya. Penjelasan ini dikenal sebagai tafsir, dan datang dalam berbagai bentuk dengan metode dan corak berbeda yang khusus untuk dasar Tafsir Al Qur'an. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan cara pandang masyarakat dalam menafsirkan Al Qur'an, faktor tersebut pula yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menafsirkan Al Qur'an, sehingga hal tersebut menjadikan terjadinya corak tafsir yang menekankan pada aspek bahasa dan filologis, dengan mengupas nilai sastra dan kebahasaan naskah Al Qur'an. Selain itu, terdapat pula hadits-hadits yang berdasarkan sabda Nabi Saw, sahabat, dan Tabi'in. Selain itu, terdapat hadits-hadits yang antara lain menganjurkan penggunaan akal dalam memahami isi Al Qur'an, atau sebagai pembenaran atau legitimasi terhadap kata-kata kenabian yang dikutip.
Dalam beberapa literatur tafsir, Tafsir Adab al-Ijtima'i dinahas bersama beberapa mufassir, antara lain: Sayyid Quthb di Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridha (w.1345), Mustafa al Maraghy (w.1945), Syaikh Mahmud Syaltout, dan Syekh Wali Allah di India. Tafsir ini muncul seiring dengan perkembangan dunia Islam sehingga lebih sering dikaitkan dengan tafsir modern/kontemporer.
PEMBAHASAN
Biografi Syekh Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 M, di Desa Mahallah Nasr, Kabupaten Syubrakhit, Provinsi Al-Buhairah. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, seorang petani yang berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya bernama Junainah, seorang penduduk Mesir yang berasal dari bangsa Arab yang silsilah keturunannya dari salah seorang sahabat Nabi yaitu Sayyidina Umar bin Khattab. Sejak mulai kecil Abduh diajarkan membaca, menulis, dan menghafalkan Al Qur'an. Pada saat Abduh berumur 12 tahun, Abduh sudah dapat menghafal Al Qur'an. Saat umur 13 tahun Abduh diantar oleh ayahnya untuk belajar bahasa Arab dan memperdalam ilmu agama di Masjid Ahmadi Thanta. Tetapi selama dua tahun Abduh menuntut ilmu di Masjid Thanta, Abduh kurang mengerti apa yang telah dipelajarinya. Karena metode pelajarannya yang diterapkan di masjid tersebut tidak memuaskan dirinya. Dengan demikian, Abduh memutuskan kembali ke kampung halamannya dan beralih menjadi petani. Tidak lama kemudian pada usia 16 tahun Abduh pun menikah pada tahun 1866 M/1282 H. Empat puluh hari setelah pernikahannya, abduh disuruh kembali ke Thanta oleh ayahnya. Pada saat perjalanan, Abduh mengalihkan perjalanannya ke arah desa Kanisah Urin, yaitu kampung kerabat dari ayahnya. Pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr, seorang alim dan ahli tasawuf. Berkat dorongan dan bimbingan dari Syekh Darwisy, Abduh mulai mau belajar dan membaca buku pelajarannya kembali. Setelah beberapa hari mendapat bimbingan dan arahan dengan baik, akhirnya Abduh mulai sedikit paham dan mengerti apa yang dibacanya.
Setelah mendalami ilmunya di Thanta, Abduh pergi ke kota Kairo untuk mendaftar menjadi mahasiswa di Universitas al-Azhar. Metode belajar di Kairo sama dengan metode yang dijarakan ketika di Thanta yakni dengan hafalan. Al-Azhar menerapkan kurikulum pada saat itu berkisar pada bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama. Dengan demikian, Muhammad Abduh mempelajari ilmu logika, filsafat, matematika, politik dan ilmu umum lainnya lainnya di luar kampus al-Azhar, yakni kepada Syekh Hasan ath-Thawil, seorang ulama al-Azhar.
Muhammad Abduh menciptakan tafsirnya di masa kebangkitan ilmu pengetahuan. Beliau membagikan hasil karyanya kepada murid-muridnya. Tujuan utama tafsirnya adalah membangkitkan kembali semangat Islam dalam kehidupan masyarakat. Abduh percaya bahwa agama Islam memiliki solusi untuk menghadapi tantangan zaman modern.
Inspirasi untuk membuat tafsir ini berasal dari gerakan yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afgani. Abduh mengajar tafsir di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan banyak muridnya tertarik pada pengajarannya. Salah satu murid yang paling tertarik diajarkannya adalah Muhammad Rasyid Ridha. Ridha melanjutkan pekerjaan gurunya dan menulis tafsir Al-Qur'an yang terkenal dengan nama Tafsir al-Manar. Nama ini diambil dari majalah yang ia terbitkan.
Metode dan Corak Khusus Penafsiran Muhammad Abduh
Bukan hanya seorang muffasir, bahkan setiap orang (yang menguasai bahasa Arab) ketika membaca Al Qur'an, maka akan jelas maknanya dihadapan mereka. Namun, ketika ia membacanya kembali, bukan tidak mungkin ia akan menemukan makna yang berbeda dari aslinya. Demikian seterusnya hingga Abdullah Darraz menyatakan dalam an-Naba'al Adzim sebagai berikut: "ayat-ayat Al Qur'an bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dari sudut yang lainnya. Dan tidak mustahil ketika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan mendapatkan yeng lebih banayk dari apa yang kita lihat".
Ada bebrapa aspek Sastra Budaya Kemasyarakatan yang dipelajari dan pertama kali disampaikan oleh Syeikh Muhammad Abduh. Melalui corak ini Abduh ingin menjelaskan ayat-ayat Al Qur'an yang berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Beliau juga ingin dunia usaha mampu menangani berbagai penyakit atau permasalahan yang dihadapi masyarakat berdasarkan ayat-ayat yang dimaksud. untuk melakukan hal ini, dia perlu menjelaskan ayat-ayat tersebut dengan cara mudah dimengerti.