Mata Hati Bintang
Rasa penat tiba-tiba menghampiriku, walau sebenarnya aku sudah sangat terbiasa dengan rasa capai yang luar biasa sejak hampir sepuluh tahun lalu Bintang lahir.
Kutatap anak-anak didik balitaku yang tengah riang gembira beristirahat selepas pelajaran corat-coret dengan cat air pada media kertas daur ulang yang kami pesan dari sebuah pabrik khusus daur ulang.Coretan mereka sangat tidak teratur tapi tetap menjadihasil karya yang bernilai tinggi. Hal yang tidak bisa dilakukan oleh Bintang-ku.
Sungguh kadangaku merasa tidak adil, aku berprofesi sebagai guru Taman Kanak-kanak selalu menyaksikan anak-anak yang sehat dan ceria harus lebih bersabar saat anak kandungku sendiri setelah lahir divonis akan menjadi anak idiot.
Bintang terlahir premature padahal saat aku hamil tidak ada masalah apapun, ah mungkin memang ini yang dinamakan takdir.Bintang didiagnosis ber-IQ rendah di bawah 70 dan akan sulit berkomunikasi dengan orang lain yang disebut idiot atau keterbelakangan mental.
Aku menangis meraung saat kenyataan ini ditujukan kepada kami, mas Rona suamiku dengan sabar menguatkan hatiku.
“Kenapa…kenapa aku harus mengalami semua ini ? apa salahku Abi ? “ aku menangis sedih, dalam pikiranku sudah berkelebat anakku yang idiot dan tidak bisa apa-apa dengan wajah tololnya.
"Sebagai orang tua ibu dan bapak hanya bisa menerima kehadiran Bintang tetap dengan kesabaran dan kasih sayang. Anak-anak mengalamu keterbelakangan mental mungkin memiliki kondisi lainnya juga seperti autisme, ADHD (Attention-Deficit Hyperactivity Disorder), gangguan kecemasan, depresi, obcessive compulsive disorder, cerebral palsy, epilepsi, hyrochephalus dan spina bifida dan masalah tingkah laku. Jika ada kondisi-kondisi tersebut harus ditanggapi secara baik. Pengobatannya tergantung pada penyebab tetapi secara umum tidak ada obat untuk "idiot". Perawatan hanya dimaksudkan untuk mengajarkan ketrampilan yang diperlukan untuk memaksimalkan bagaimana mereka dapat mandiri." Panjang lebar dokter anak yang memangani Bintang sejak kelahiran dan vonis down syndrom menguatkan hati kami saat akhirnya diijinkan pulang setelah satu bulan di ruang incubator.
Aku mulai memasuki masa kegelapan, sungguh kalau boleh jujur kedatangan sikecil ternyata tidak membawa kebahagiaan tetapi ekstra kesabaran yang sebelumnya aku punya sebagai guru balita. Diantara rasa lelah pekerjaan aku berusaha memberi yang terbaik buat Bintang.
Aku semakin mendekatkan diri pada Allah, saat terkadang tatapan sinis atau iba datang dari orang luar saat elihat kondisi Bintang, tanpa terasa air mataku meleleh diam-diam. Saat ini aku masih bisa merawat Bintang dan Bintang aman dalam lindunganku dan Abi suamiku. Dia tidak terjangkau oleh orang-orang luar.
Hingga akhirnya aku mulai mengajaknya ke sekolahan TK temapat aku mengajar, agar dia tidak terkurung dalam rumah berasam mbok Nah yang menjaga saat aku mengajar sebentar. Tetapi niatan aku mengajak ke sekolah TK ternyata salah.
Bintang malah menjadi bulanan ejek-ejekan anak-anak yang masih polos. Sedih rasanya waktu mendengar dengan lantangnya Bagus balita yang kritis berkata, “Bintang…Bintang anak bu Nila cuma bisa senyum-senyum! Tapi aku malah takuuuut,” sambil kabur berlari dan ternyata kaburnya Bagus diikuti anak-anak lain yang menimbmulkan keributan bahkan ada balita perempuan jadi menangis saking ketakutan. Ya mereka takut melihat Bintang yang dianggap berwajah monster. Padahal anakku memang begitu adanya.
Aku menuruti kepala sekolah melarang Bintang kemari dan akhirnya aku tidak bisa membawa Bintang ke sekolahan lagi. Aku masih harus bekerja, karena kebutuhan hidup kami juga yang membengkak. Kadang Bintang ada saja yang sakit.
****
Tahun pertahun terlewati dengan perkembangan Bintang yang sangat lambat, saat anak-anak seusianya mulai bicara bicara dia masih saja tergolek seperti bayi dan berlanjut saat anak normal mulai berlari dan mandiri Bintang masih hanya bisa duduk dan makan pun tidak bisa, dipaksain dia hanya akan mengacak-acak makanan atau melemparkannya hingga usia lima tahun.
Terkadang aku sungguh sangat iri melihat Navi yang hanya selisih seminggu melahirkan dengan kelahiranku. Navi sahabatku melahirkan bayi lelaki juga tetapi bedanya bayi yang dilahirkan Navi sangat sehat walafiat.
Tiap hari perkembangannya membawa keceriaan yang membuat Navi merasa bangga dengan puteranya. Bahkan saat Navi membawa Surya ke sekolahan tempat kami sama-sama mengajar semua anak-anak dan guru-guru semua menyuakinya. Surya bertubuh gemuk sehat, bola mata bulat dan berbinar, rambut ikal dan kulit putihnya juga celotehnya menampakan kecerdasan yang luar bisa.
Ya Allah andai Bintang terlahir sempurna pasti dia juga tidak akan kalah hebat dengan Surya. Pasti Bintang sudah berlari-lari, menyayi-nyayi dan mulai suka gaul dengan teman-teman sebayanya.
Tapi tiba-tiba hatiku menjerit membangunkan andaian aku yang hanya membuat aku sesak nafas dan perih bahkan semakin menjauh dari rasa syukur.
Padahal Bintang tidak salah apapaun dalam hal ini. Pasti diapun tidak ingin terlahir cacat dan lebih banyak mendatangkan derai air mata Uminya daripada derai tawa apalagi pengharapan seorang ibu pada anaknya kelak saat dirinya sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
Tanpa sengaja aku jadi ikut dekat-dekati Surya, sesekali membopongnya, Aku ingin merasakan sensasi memiliki anak yang sehat. Walau setelahnya aku tersadar juga. Aku tidak akan pernah bisa seperti Navi dengan anaknya yang normal.
“Umi…Umi…kalau sudah besar Surya mau jadi piyot! Niiih nyetirin pecawat…ngengg….ngebut!” kata Surya yang emapt tahun saaat itu masaih agak cedal.
Lalu Navi dengan sumringah tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk,” Iya Sayang…..kamu boleh jadi apapun Nak.” Ah Navi aku sungguh iri dengan anakmu.
*****
Jujur hatiku bukanlah hati malaikat yang bisa sangat bersabar menghadapi persoalan, hatiku masih dipenuhi nafsu amarah apalagi bila rasa capai mendera. Saat Bintang mengamuk aku tidak bisa bersabar, malah sebaliknya aku plototin dengan amarah yang terlontar dalam sumpah serapah, “Kamuuu ya! Umi dan Abi sudah kerja banting tulang kamu buang makanan sesukamu!” dan tanganku gemetar menjewer dan menaboknya.
Tapi selepas itu aku sungguh menyesal, ku meminta maaf di sampingnya dan Bintang sungguhpun terisak sambil menjulurkan tangannya menghapus air mataku yang meleleh satu persatu. Sungguh aku sangat menyesal dengan kesabaranku yang lost control. Sungguh berat hari terlewati apalagi saat malam Bintang menjadi terbangun dan menangis. Aku peluk malaikat kecilku. Ini pasti gara-gara kejadian siang tadi.
“Maafkan Umi ya Nak…” setelah aku peluk dan aku elus wajahnya, Bintang terlelap kembali dalam mimpinya sesekali tersenyum dan tertawa. “Semoga engaku memaafkan setiap kekhilafan Umi ya Nak ,” kataku berbisik lembut di telinganya dan kuciumi anakku yang sekarang telah menginjak sembilan tahun.
Moment ini yang paling aku suka memandang wajahnya yang sebenarnya merupakan perpaduan aku dan Abinya, sesekali dia tersenyum bahagia. Aku tahu pasti sahabat-sahabat dalam lelapnya membuat dia merasa nyaman dan tidak ada yang mengejek atau berlari terbirit-birit ketakuan akan kehadiran dirinya.
Setiap pagi mentari terbit selalu kusapa dengan harapan, semoga aku semakin kuat menjaganya di antara usiaku yang juga merambat. Aku tidak tahu bagaimana Bintang setelah kami tidak ada. Siapa yang akan menjaganya ? sementara saudara-saudara aku dan Abi juga sibuk dengan urusan dunia mereka.
****
Tetapi kekhawatiranku terjawab sudah, setahun kebelakang kesehatan Bintang semakin turun, aku sendiri bingung sebenarnya sakit apa yang dideritanya. Tetapi menurut Abi daya tahan tubuh Bintanglah yang terserang, Bintang semakin kurus dan melemah.
Suatu malam dalam pelukanku Bintangpun terlelap, gemerlapnya meredup dan akhirnya benar-benar mati tak bercahaya lagi.
Mungkin inilah tangisan yang terhisteri aku alami setelah tangisan pedih saat aku melahirkan dan menerima kenyataan anakku terlahir dalam kondisi down syndrome.
*****
“Bintang…” dan aku terbangun slide-slide foto di leptop tergambar Bintang yang tengah tersenyum polos, tengah memberi makan kura-kura peliharaan kami dengan sayang, memberikan susu pada Meong kucing kami juga menyiram tanaman potku. Tiba-tiba menyadarkan selama ini Bintang memang cacat tapi mata hati bintang tetap hidup bahkan lebih tajam.
Juga ada gambar Bintang dan Surya, ternyata Surya tidak takut terhadap Bintang malah sebaliknya Surya memberikan mainan pesawat terbang kesukaannya pada Bintang yang masih seperti anak-anak. Surya semakin cakap tumbuh dan berhati baik seperti Navi sahabatku. Sahabatku yang terus menguatkan saat aku merasa terpuruk dan iri dengannya. Navi tahu, tapi dia mengganggap kebahagiaan dia juga kebahagiaanku. Navi tidak keberatan bila sesekali aku memeluk Surya.
“Jangan bersedih Umi, Bintang sudah sangat berbahagia di sini. Terima kasih Umi dan Abi sayang…Kalau Umi rindu carilah Bintang di luar angkasa. Umi tataplah berjuta bintang yang bergemerlap di angkas dan bila Umi menemukan sebuah bintang yang besar dan berpijar paling terang itulah Bintang yang telah Umi rawat hampir sepuluh tahun. Jangan bersedih lagi Umi, Bintang selalu hadir setiap malam-malammu hingga saatnya kita bisa bertemu tanpa menunggu malam cerah berbintang….”
ilustrasi : kesendiriankui.blospot.com
Bursa Efek Jakarta, 18 Desember 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H