Belakangan ini, berita tentang mencontek masal menjadi headline news. Aku teringat masa laluku, khusunya ketika smp. Ada sebuah pelajaran yang entah kenapa kami semua sebagai siswa tidak canggung dan tidak ada rasa bersalah untuk nyontek teang-terangan, bahkan buka buku di depan guru. Dan itu adalah mata pelajaran tata boga. Sebelum ngomongin lebih lanjut soal aku dan mencontek, ada baiknya bila kita sedikit membahas kenapa sih sampai harus mencontek, apalagi seorang guru yang menyuruh anak didiknya mencontek. Ini mungkin karena niat kita tidak ikhlas. Mencontek dilakukan karena kepentingan dunia, ingin nilai yang bagus bukan? Bukan berarti nilai bagus itu tidak penting, tapi bagaimana sikap kita terhadap nilai itu sendiri. Apakah kita menjadikan nilai sebagai tujuan utama, atau nilai itu sebagai ukuran. Kalau nilai dijadikan tujuan utama, tidak mustahil cara apapun kita lakukan untuk mendapatkan nilai yang bagus. Lain halnya kalau nilai kita anggap sebagai ukuran saja, yang berarti kita mengukur kemampuan dan hasil dari proses belajar kita. Kembali ke masa smp-ku. Aku waktu itu memang belum sadar akan baik atau tidaknya mencontek. Tau, tapi belum menyadari. Setelah SMA, Alhamdulillah aku merasa tidak butuh mencontek lagi. Pelajaran-pelajaran yang aku tidak bisa dan tidak suka aku hanya berharap lulus saja. Jadi kalau minimal 4, dapat 5 sudah Alhamdulillah.Saat itu aku baru berpikir sampai, nyontek itu kan ga baik, menipu diri sendiri. Kini aku pun berpikir, di samping untuk mencapai nilai bagus sebagai tujuan utama, barangkali kita menyontek karena kita belum tau untuk apa belajar ini dan itu. Tapi rasanya memang tidak bisa menyalahkan siswa secara mutlak, karena aku pun merasa ada paradigma yang salah di masyarakat. Beberapa pelajaran seperti di 'anak bawang' kan, sedangkan pelajaran lain seperti di'dewa'kan. Siswa yang memang kemampuannya terbatas pada pelajaran-pelajaran 'dewa' itu mencari segala cara untuk mendapatkan nilai yang bagus. Sebaliknya, siswa yang tidak suka sama pelajaran 'anak bawang' semakin tidak suka, tapi karena 'tuntutan' nilai itu tetap ada, jadilah menyontek sebagai alternatif. Hal ini tentu bukan mutlak kesalahan siswa. Ada yang harus diluruskan. Menekankan pentingnya meraih nilai yang bagus sudah harus pelan-pelan kita ubah. Ada yang lebih benar, yaitu membentuk kesadaran pentingnya belajar. Selain itu, semua hendaknya sepakat, bahwa semua pelajaran itu penting dan masing masing anak punya minat dan kemampuan yang berbeda. Hanya saja memang, tetap ada standar minimal yang harus dikuasai sebagai kemampuan dasar. Bicara memang mudah kok, saya sadar itu. Mengubah topik pembicaraan ini menjadi sebuah langkah teknis yang nyata memang sulit, apalagi jika itu ditujukan untuk skala nasional. Saya yang hanya ngajar lima orang anak masih kebingungan. Masalahnya, saya suka berhitung dan saya mengajarkan berhitung kepada anak-anak yang tidak suka berhitung. Saya kira, hal ini memang tantangan bersama. Aku dulu mencontek di pelajaran tata boga, karena aku merasa tidak bisa menikmati pelajaran itu. Selain tata boga, dulu aku juga tidak begitu menyukai pelajaran-pelajaran hapalan. Geografi, sejarah, PPKn, semua hanya aku pelajari untuk tuntutan nilai. Pelajaran IPS aku hanya suka akuntansi, karena isinya berhitung. Kalau pelajaran IPA justru aku kurang suka Biologi, aku tidak suka menghapal tapi ada juga satu dua hal yang aku merasa mendapat manfaatnya. Lain halnya dengan bahasa, aku masih menyukai bahasa, meskipun tidak sebesar rasa sukaku pada hitung-hitungan. Namun, ketika aku kuliah di teknik, yang notabene berhitung banget, aku justru menyesali kenapa dulu aku tidak belajar sejarah, PPKn dengan baik. Ya, ketika berorganisasi, aku banyak mendapati "ceramah-ceramah" politik. Ada kesimpang siuran ini itu tentang sejarah negeriku yang tercinta. Bahkan sejarah Islam pun demikian. Ada yang bilang, sejarah yang tertulis, tersebar dan dikenal banyak orang tidak sepenuhnya bisa kita percayai. Ooh, tenyata mempelajari sejarah itu memang perlu. Kini, aku sudah lulus. Aku sudah bekerja. Alhamdulillah. Namun, ada satu peran yang mudah-mudahan tidak lama lagi aku sudah pantas untuk diberikan amanah itu -amin Ya Rabb-. Hal ini mengingatkanku pasal menyontek di pelajaran tata boga. Aku sangat menyesal dan merasa barangkali inilah balasan yang pantas bagiku. Aku suka bereksperimen dengan masak memasak. Tapi satu hal, aku selalu merasa tidak percaya diri jika tanpa catatan. Dengan kata lain, aku selalu membawa kepekan saat bereksperimen di dapur. Ampuni aku Ya Rabb. Yang sudah lalu, memang hanya bisa kusesali. Mudah mudahan kelak aku bisa masak dengan rasa pede yang tinggi. Tanpa kepekan, tapi rasanya mak nyuss. Kata ibu kostku dulu, memasak itu seperti menyetir, kalau belum terbiasa ya memang seperti kagok. Namun, kalau sudah terbiasa nanti tumbuh sendiri instingnya ;-)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H