Meski tahun ajaran baru masih 6 bulan lagi, pendaftaran sekolah --khususnya swasta, baik tingkat SD, SMP hingga SMA sudah ramai dibuka. Sebagiannya bahkan sudah tutup. Minat masuk sekolah swasta cukup tinggi meski harus dibayar dengan harga mahal. Tentu saja dengan terpaksa.
Mahalnya pendidikan di Indonesia bisa digambarkan dari HSBC Global Report 2018. Menurut laporan itu, Indonesia termasuk negara dengan biaya pendidikan termahal di dunia. Â
Rata-rata orangtua mengeluarkan biaya untuk pendidikan setiap satu anaknya mulai dari PAUD hingga sarjana mencapai sekitar Rp 258 Juta. Â Hal ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-13 sebagai negara dengan biaya pendidikan termahal di dunia.
Beban biaya pendidikan tentunya telah menambah berat beban pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat. Terlebih jika harus bersekolah di lembaga pendidikan swasta.
Keterbatasan daya tampung sekolah negeri, menjadikan sekolah swasta kerap menjadi pilihan terakhir bersekolah. Akibatnya, mereka harus menanggung biaya lebih.
 Malangnya, banyak orang tua yang tak sanggup membayar keseluruhan biaya pendidikan hingga akhir. Banyaknya ijazah yang tertahan di berbagai sekolah swasta menunjukkan ketidakmampuan orang tua membayar berbagai biaya sekolah. Beberapa waktu lalu, Pemda DKI tepaksa menebus ijazah senilai Rp 3,6 Milyar selama tahun 2019. Terbayang, betapa tidakmampunya masyarakat untuk membayar biaya pendidikan.
Mahalnya pendidikan sebenarnya tak hanya di sekolah swasta. Meski ada kebijakan bebas SPP di sekolah negeri, bukan berarti pendidikan diperoleh dengan gratis. Masih banyak komponen biaya lainnya, seperti seragam, buku, transportasi, juga pungutan lainnya.
Walhasil, mendapatkan pendidikan terbaik butuh biaya tinggi. Dan mayoritas warga masyarakat mengeluhkan pembayarannya. Maka layak disoal, mengapa pendidikan di Indonesai begitu mahal? Dan bagaimana sebenarnya jaminan pendidikan itu bisa diwujudkan oleh negara?
Pendidikan Kapitalis Mahal
Mahalnya biaya pendidikan merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan negara yang rusak, baik menyangkut tata kelola negara yang kapitalistik maupun sistem pendidikannya.Â
Yang pertama, tata kelola negara kapitalistik berlandaskan paradigma Good Governance atau Reinventing Government atau konsep New Public Management. Konsep ini berperan besar melahirkan petaka biaya pendidikan mahal. Â
Paradigma ini mengharuskan negara berlepas tangan dari kewajiban utamanya sebagai pelayan rakyat. Selanjutnya, masyarakat --termasuk korporasi/swasta- didorong berpartisipasi aktif.
Hadirnya sekolah-sekolah swasta --meski berbiaya tinggi- menjadi capaian bagus selama memberi kontribusi bagi capaian pendidikan. Negara hanya menjadi regulator (pembuat aturan) bagi kepentingan siapa pun yang ingin mengeruk keutungan dari dunia pendidikan. Â
Padahal, pasar pendidikan amat menggiurkan dan makin berkembang. Tak hanya jumlah siswa, berbagai sarana prasara juga infrastruktur adalah potensi keuntungan yang bisa dikeruk.
Belum lagi soal kurikulum. Jualan aplikasi, bimbingan atau konsultasi belajar dan sebagainya menjadi sasaran empuk para kapitalis. Hal ini juga sejalan dengan paradigma kapitalis KBE (Knowledge Based Economy). Yakni, pendidikan merupakan komoditas ekonomi yang layak dikomersialkan. Â
Berlepasnya negara menjadikan hubungan negara dengan rakyat tak lebih bagai hubungan dagang. Perhitungan untung rugi menjadi patokan. Pelayanan pendidikan diberikan minimalis jika tidak menghasilkan untung finansial. Sebaliknya, jika masyarakat menghendaki tambahan kualitas, dibebankan kepada masyarakat sendiri. Maka lahirlah berbagai pungutan.
Pada saat pertumbuhan sekolah swasta cukup tinggi, sekolah negeri kalah bersaing. Negara pun diam, ketika perannya sebagai pelayan yang seharusnya menjamin kebutuhan pendidikan kini banyak diambil oleh swasta. Padahal, dampak yang paling dirasakan tentunya adalah biaya yang mahal. Â
Kedua, turunan dari konsep Reinventing Government dalam sistem pendidikan yaitu konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Esensi dari MBS adalah kemandirian (otonomi) sekolah dalam mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku. Â
Di samping itu, MBS juga menguatkan program peningkatan partisipasi. Dengan konsep ini, semua warga sekolah--termasuk orang tua- didorong berpartisipasi baik dalam pengambilan keputusan maupun tata laksana pendidikan di sekolah.
Dalam hal ini, Komite Sekolah berwenang mengumpulkan sumbangan bagi keberlangsungan kegiatan sekolah. Â Inilah yang memunculkan berbagai pungutan (sumbangan) di sekolah.
Karenanya, MBS yang konon bisa menjadi jembatan menuju kemajuan sekolah, telah menjadi senjata bagi sekolah untuk menjerat orang tua siswa agar berperan serta membiayai pendidikan.Â
Sumbangan atas nama Komite Sekolah ini telah membebani orang tua. Â Inilah yang membuat program bebas SPP menjadi tidak berasa manfaatnya. Sebab, pungutan sekolah tetap ada, meski besarannya tidak tentu, tapi berbatas minimal yang cukup tinggi.
Ketiga, tata kelola keuangan dan ekonomi negara yang kapitalistik melahirkan kemiskinan negara. Dampaknya, negara minim memberikan anggaran pendidikan.Â
Negara tak mampu lagi memberikan fasilitas pendidikan memadai, membangun dan memperbaiki sekolah-sekolah--termasuk menggaji guru honorer secara layak- karena minimnya anggaran. Tata kelola anggaran yang rusak ini telah menambah beratnya biaya pendidikan. Â Lagi-lagi berujung pada pungutan.
Walhasil, mahalnya biaya pendidikan terjadi karena kehidupan kapitalistik neoliberal yang diemban negara dan diimplementasikan dalam sistem pendidikan. Â
Pendidikan Murah Berkualitas dalam Khilafah
Tentu menjadi pertanyaan, apakah mungkin suatu negara bisa memberikan layanan pendidikan murah dan berkualitas? Dalam sistem kapitalis neoliberal sudah terjawab, mustahil. Â Berlaku hukum ekonomi kapitalis dalam hal apapun. Jika mau berkualitas, maka harus berani membayar mahal. Â
Hanya saja, jika menilik sebab mahalnya biaya pendidikan, maka tentu saja pendidikan murah berkualitas bisa diwujudkan jika paradigma kapitalis dalam mengelola pendidikan ditinggalkan. Dan selanjutnya diganti dengan paradigma sahih, yakni Islam yang dijalankan dalam sistem Khilafah. Mengapa demikian?
Khilafah tidak mengenal paradigma Reinventing Government dan konsep turunannya semisal MBS. Negara berperan dan bertanggung jawab penuh dalam pelayanan pendidikan.Â
Meski demikian, dalam Khilafah dimungkinkan terdapat peran serta masyarakat atau pun sekolah swasta. Hanya saja keberadaannya tidak boleh mengambil alih peran negara.
Daulah (negara) menjaga betul agar layanan pendidikan sampai kepada tiap individu rakyat dengan biaya yang amat murah bahkan gratis. Â Hal ini merupakan kewajiban syara' kepada negara. Â
Dulu Rasulullah Saw. pernah membebaskan budak tawanan Perang Badar dengan tebusan mereka mengajari anak-anak Madinah. Padahal harta tebusan itu sebenarnya milik Baitul Mal (kas negara). Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah membiayai pendidikan rakyatnya dengan harta dari Baitul Mal. Hal ini menjadi dalil kewajiban negara membiayai pendidikan rakyatnya. Â
Biaya pendidikan yang dimaksud tentu bukan hanya untuk gaji pengajar. Berbagai keperluan pendidikan lainnya, baik sarana prasarana, infrastruktur--mulai dari ruang belajar hingga perpustakaan, laboratorum dan lainnya- hingga keperluan pendukung lain seperti transportasi dan sebagainya seharusnya disediakan negara. Sehingga rakyat tidak kesulitan mendapatkan akses pendidikan berkualitas.
Tentang anggaran, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam Khilafah. Sebab, dengan menjalankan hukum syariah dalam mengelola anggaran negara, baik sumber pemasukannya maupun pengeluarannya, Negara memiliki sejumlah dana mencukupi bagi kehidupan masyarakat dalam negara, termasuk untuk pendidikan. Â
Berbeda dengan sistem kapitalis yang sarat dengan korupsi, serta kas negara yang minus karena kekayaan alamnya dikelola secara kapitalis. Sementara kas negara dipenuhi dengan hutang ribawi dan pajak yang mencekik rakyat.Â
Kondisi demikian jelas tidak akan membawa keberkahan bagi pendidikan. Â Sudahlah mahal, tidak berkah pula. Â Padahal yang diharapkan tentunya adalah yang murah berkualitas dan berkah.
Demikianlah, Khilafah yang menjalankan syariah Islam secara kaffah menjamin kebutuhan pendidikan yang murah berkualitas. Â Inilah keberkahan hidup yang hanya dapat diperoleh dari ketundukan manusia kepada aturan Allah SWT. [] Â Noor Afeefa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H