Demo guru honorer kian masif berlangsung di berbagai penjuru tanah air. Kini, sebagian mereka bahkan berencana mogok mengajar hingga 31 Oktober mendatang. Mereka menuntut pengakuan kedudukannya sebagai guru honorer. Permen PAN nomer 36 tahun 2018 dan rekrutmen CPNS tahun 2018 pun menjadi sasaran kritik.
Tuntutan ini disampaikan karena Pemerintah berkeras memberlakukan ketentuan sesuai prosedur pengangkatan CPNS. Yaitu, maksimal berusia 35 tahun. Adapun bagi yang telah melewati batas usia, dipersilakan mengikuti prosedur (seleksi) pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).Â
Kondisi ini tidak sepenuhnya diterima para guru honorer. Terlebih jika terdapat persyaratan akademik. Walhasil, harapan menjadi pegawai resmi pemerintah tak mudah diwujudkan. Kesejahteraan yang selama ini diidam-idamkan dari jasa memberikan ilmu pun masih jauh dari harapan.
Demo guru berbuntut masalah baru. Pembelajaran di sekolah terganggu. Siswa terbengkalai. Miris, karena kondisi seperti ini seharusnya ini tak boleh terjadi. Sebab, tugas mendidik mestinya tidak bisa dikalahkan oleh status guru. Terlebih, jika mereka masih terikat kontrak mengajar.Â
Artinya, meski honorer mereka tetap wajib menjalankan tugasnya. Persoalan besarnya gaji seharusnya tidak dicampur adukkan dengan kewajiban yang sudah diakadkan (dikontrak) di awal. Di sisi ini, demo guru honorer layak dikritisi.
Patut disayangkan, sebagian guru sudah termakan paham sekuler kapitalis. Pendidikan menjadi barang dagangan. Guru mengajar bukan untuk mendidik tapi mencari uang. Demi kepentingan honorarium, mereka rela meninggalkan anak didiknya.
Di sisi lain, negara adalah penanggung jawab pelayanan pendidikan. Negara wajib memperhatikan kesejahteraan guru agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Sayangnya, justru di sinilah persoalannya. Negara tidak mampu memberikan anggaran mencukupi untuk menggaji guru. Ketersediaan guru pun akhirnya diserahkan kepada Pemda.
Otonomi daerah sebagai produk sistem kapitalis pun tak mampu menyelesaikan problem pendidikan ini. Di berbagai tempat, guru honorer mendapatkan gaji amat minim. Bahkan tunjangan yang minim pun kadang tertunda pembayarannya. Di Mimika, ribuan guru SMK/SMA melakukan aksi mogok mengajar karena uang lauk pauk dan tunjangan perbaikan penghasilan belum cair (detik.com, 14/10/2018).
Nyatanya, baik pemerintah pusat maupun daerah tidak serius memperhatikan kesejahteraan guru. Bisa dibayangkan gejolak sosial yang terjadi di lapangan. Bagaimana bisa guru dengan tugas yang sama, namun berbeda gajinya, hanya karena berbeda status, PNS dan bukan PNS.
Kecemburuan ini terus memuncak di tengah krisis ekonomi yang kian menghimpit. Demo -bahkan mogok mengajar- menjadi harapan mereka meski dengan resiko meninggalkan kewajiban mendidik siswa.
Dunia pendidikan akan terus berguncang. Mereka yang diharapkan membimbing anak-anak di sekolah meningglkan tugasnya. Sementara Negara tak punya solusi. Ini terjadi karena paradigma yang keliru pada Negara tentang pendidikan.