Mohon tunggu...
Nonia Putri Rizlen
Nonia Putri Rizlen Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang content creator, Public speaker dan author

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pentingnya Kesetaraan Gender bagi Perempuan Masa Kini di Era Modernisasi

23 Oktober 2022   18:12 Diperbarui: 23 Oktober 2022   18:22 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Permasalahan gender di era global adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan. 

Kesetaraan berasal dari kata setara/sederajat. Setara berarti sejajar atau sederajat. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Namun, dalam kehidupan sosial manusia membutuhkan adanya kesetaraan sosial yang berarti bahwa semua manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki derajat yang sama dan harus diperlakukan sama, sehingga setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan konsumsi yang layak. 

Pada kenyataannya saat ini masih terdapat ketidaksetaraan gender, terutama bagi kaum perempuan. Dapat disimpulkan bahwa gender berbeda dengan jenis kelamin, jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, berlaku secara umum, tidak dapat berubah, dan merupakan kodrat dari Tuhan. Sedangkan gender lebih berhubungan dengan perbedaan perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial, budaya, dan psikologis.
 
Ketidaksetaraan gender sudah ada sejak zaman dahulu. Dapat dilihat dari kisah Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau R.A. Kartini yang kerap disebut sebagai simbolis aliran feminisme-liberalis di Indonesia. Kartini senantiasa diagungkan sebagai pejuang wanita yang berani melawan ketimpangan gender. 

Dari kisah R.A. Kartini dapat disimpulkan bahwa terdapat ketidaksetaraan gender dalam pendidikan, adanya perjodohan dan terdapat penindasan terhadap hak-hak perempuan. 

Ketidaksetaraan pendidikan yang berlandaskan tradisi dan budaya atas dasar qodrat sehingga membentuk stigma negatif di masyarakat yang membatasi ruang geraknya perempuan. Seperti adanya Pemikiran bahwa perempuan harus di rumah, memasak, dan mengurus anak saja, membuat perempuan merasa tidak hidup seutuhnya. 

Perempuan merasa, bahwa ia tidak memiliki hak untuk memilih kehidupan seperti apa yang ingin ia jalani. Meski saat ini sudah banyak perempuan yang mulai melawan stigma, nyatanya perjalanan untuk benar-benar lepas dari stigma memang masih panjang. Hal ini dikarenakan budaya patriarki yang melekat kuat sejak dulu. Berikut macam-macam aspek terkait ketidaksetaraan bagi perempuan, antara lain :
 
1. Ketidakadilan dalam aspek Pendidikan

Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan pendidikan sangat rendah karena akses perempuan juga masih dirasakan rendah dalam menempati jabatan-jabatan birokrasi pemegang kebijakan dibandingkan dengan laki-laki pada setiap jenjang Pendidikan.

Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya stigma masyarakat yang mengatakan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena sulit mendapatkan jodoh dan nantinya hanya bertanggung jawab mengurusi dapur, sumur dan Kasur. Stigma ini muncul karena tidak adanya keterampilan atau pelajaran yang membahas kesetaraan gender sejak dibangku sekolah. 

Kemudian di perkuat dengan penulis-penulis buku pelajaran yang ditulis oleh lelaki sehingga secara tidak langsung menanamkan pandangan pada siswa bahwa hanya lelaki yang memiliki kewenangan penggerak Pendidikan. Akibat ketidaksetaraan Pendidikan adalah meningkatkan tingkat pernikahan usia dini.

 2. Ketidakadilan dalam aspek pekerjaan

Berdasarkan data International Labour Organization (ILO), pekerjaan bergaji tinggi di Indonesia lebih banyak dikuasai oleh pria daripada perempuan. Hanya 30% posisi manajerial atau supervisory diduduki oleh perempuan. Kesetaraan gender dapat diibaratkan seperti sepasang sepatu. Jika posisi laki-laki lebih tinggi (menggunakan high heels) dan perempuan lebih rendah (menggunakan flat shoes), keduanya tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun