Cenut-cenut pada gigi ini tak dapat kutahan lagi. Lubang gigi geraham kian menganga. Sudah hampir setahun kubiarkan saja dan terpaksa harus selalu merasakan ketidaknyamanan saat makan. Mau cabut gigi dan pasang gigi palsu kok takut, hanya karena agak terpengaruh omongan teman bahwa itu akan menyebabkan bentuk muka kita berubah. Tidak sip lagi. Halah!
Namun alasan utama sebenarnya bukan itu. Lebih kepada alasan klasik, tentu saja biaya, hehe. Banyak yang bilang, dokter gigi lebih mahal daripada dokter umum. Apalagi untuk urusan pasang gigi palsu. Sebenarnya, dulu pernah juga berurusan dengan dokter gigi, menambalkan lubang, dan memang benar…, mahal! Jadi, kupikir selama masih bisa mengunyah, tak perlulah ke dokter gigi lagi. Konyolnya….
Walhasil, usai lebaran kemarin cenut-cenutnya kian menjadi. Dengan sangat terpaksa, kuputuskan untuk reunian dengan dokter gigi yang sama waktu itu, minta dicabutkan gigiku yang sudah rusak parah, lalu janjian pasang gigi palsu.
Sampai di klinik, tenyata sudah penuh pasien yang mengantri. Payah, kurang awal datangku. Memang klinik itu selalu ramai pasien. Hanya ada dua dokter yang membuka praktik di situ. Dokter umum dan dokter gigi.
Petugas penerima pasien mempersilahkanku menunggu giliran, tanpa nomor pasien. Memang begitu, tak pernah ada nomor pasien di klinik itu, meski pasiennya membludak sampai di luar ruang tunggu. Panggilan giliran masuk ke ruang periksa hanya didasarkan pada ingatan si petugas, siapa yang datang lebih dulu.
Sambil menunggu giliran dipanggil, jariku menari kecil pada HP yang kubawa, menjawab komentar-komentar masuk pada status facebook yang kubuat sebelum berangkat ke klinik:
daripada sakit gigi…, lebih baik sakit hati ini….
-tumplak tung jess…. Watawww-
Lumayan juga, masih bisa ketawa ketiwi baca komentar-komentar yang masuk.
Sudah hampir pukul sembilan malam, aku belum juga dapat giliran. Bangku kosong di sebelahku, kini sudah diduduki pasien baru, seorang kakek tua yang kecil, kurus, lusuh, dengan wajah memelas dan sebentar-sebentar mengaduh pelan, menahan sakit giginya. Kuberi senyum menyapanya, namun ia seperti enggan melihatku. Sakit giginya lebih menyedot fokusnya. Ia terus mengerang-erang kecil, “hhhhh, aduh… hhhh…, lama bener.”
Lama bener ya?” akhirnya ia mengajakku bicara.
“Iya, saya juga nunggu dari tadi.”
“Mau cabut gigi, ya?”
“Iya,”
“Hhhh, aduuuuh, hhhh….,” erang Pak Tua lagi. Ia kembali mengabaikanku.
Tak tega aku melihatnya. Kelihatannya sakitnya lebih parah dari sakitku. Ia terus memegangi pipinya.
Si penerima pasien masuk ke ruang dokter gigi, mengantarkan kartu pasien baru.
“Wis, hop, stop!” terdengar suara dari dalam ruangan itu. Sepertinya suara Bu Dokter. Nadanya agak marah. Aku maklum, malam kian larut, dan pasien masih juga berdatangan. Bu Dokter pasti kelelahan, hehe.
Sebentar kemudian, Bu Dokter tampak berdiri di depan pintu masuk ruang praktiknya. Ia menyerukan panggilan untukku.
“Ibu Aaf!”
Alhamdulillah, akhirnya….
Bu Dokter memeriksaku dengan cepat. Malam itu, aku ompong dengan suksesnya. Sebulan ke depan, jika gusiku sudah menutup dengan bagus, aku bisa kembali untuk urusan pasang gigi. Dalam pemeriksaan, dapat terlihat Bu dokter kelelahan. Pertanyaanku dijawabnya singkat-singkat, meski masih dengan senyuman. Tapi aku bisa merasakan, ada nada ketidaksabaran dalam setiap jawabannya untuk segera menyudahi praktiknya hari ini. Resep pun kudapat, lalu kubayar obat dan ongkos dokternya. Habis Rp. 80.000,-. Ah, ternyata tak terlalu mahal, dibanding tambal gigi waktu itu, yang hampir menghabiskan Rp. 400.000,-.
Dengan rasa plong, aku melangkah ke luar klinik. Betapa tercengangnya aku, karena ada Pak Tua yang duduk di sampingku tadi tengah berdiri di tepi jalan sambil memegangi pipinya. Matanya memerah menahan tangis. Batinku berseru, Ya Tuhan, sepertinya akulah pasien terakhir Bu Doker Gigi malam ini. Dadaku seketika sesak memikirkan nasib Pak Tua.
Kulihat kini Pak Tua ditemani anak laki-lakinya yang tengah menggendong cucunya. Wajah si anak kelihatan bersungut-sungut melihat nasib ayahnya yang tak bisa terlayani malam itu. Aduuuuh, dadaku kian sesak saja melihat betapa kecewanya keluarga itu, sedangkan aku tak bisa berbuat apa-apa. Hiks.
Cuma doa dan harap yang akhirnya bisa kulakukan, Duhai Bu Dokter, terimalah Pak Tua itu, dan kudoakan keberkahan berlipat padamu.
Malam itu, aku pulang berbalut rasa…, antara senang dan sesak…
Maafkan aku Pak Tua, tak bisa berbuat apa-apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H