Mohon tunggu...
afuah
afuah Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lima Kilo Beras untuk Pak Tua

14 Oktober 2012   23:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:50 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wah, gawat! Hampir jam tujuh pagi. Sebentar lagi gerbang sekolah ditutup. Tiada ampun bagi yang terlambat. Murid yang terlambat harus berlari sepuluh putaran mengelilingi lapangan olah raga di halaman belakang yang lumayan luas. Aku pernah mengalaminya sekali. Pegal di kaki sih tak masalah, tapi rasa malu yang kudapat sampai kini masih membekas. Waktu itu aku sempat terjatuh, rok sekolahku tersingkap. Alamaaak, sorak-sorai anak-anak yang menonton dari balik jendela kelas begitu riuh rendah. Tak henti-henti. Aku kapok!

Lima menit lagi sisa waktuku. Aku panik. Sekuat tenaga kukayuh sepeda bututku. Ngebut tingkat tinggi. Gerbang sekolah sudah terlihat. Jalanan tampak sepi. Ayoooo, aku tak sabar lagi. Tiba-tiba…, terdengar suara ‘chiiiit… brakk’.Aku jatuh terguling-guling. Tas dan bukuku berserakan tak karuan. Ya Tuhan, aku menabrak seorang kakek tua. Kulihat ia pun terjatuh dalam posisi tertelungkup. Astaghfirullah…. Tak berpikir panjang aku segera bangkit, menghampiri Pak Tua. Pupus sudah harapanku tepat waktu. Aku pasrah.

“Pak, aduuuh…, maaf. Saya terburu-buru. Mari saya bantu bangun. Bapak tidak apa-apa kan? Bapak terluka? Maaf saya sungguh terburu-buru,” kataku mengulang-ulang permintaan maaf serta alasanku menabraknya. Berharap Pak Tua tidak memaki-makiku.

Pak Tua terbatuk-batuk. Kepalanya menengok ke kanan ke kiri, mencari-cari sesuatu. Lalu menunjuk ke suatu arah, agak jauh dari tempat kami berdiri. Oh, tongkatnya. Pasti terlempar tadi, sewaktu kami bertabrakan.

“Tongkat saya, tolong bawa ke sini”.

“Iya, Pak”, aku bergegas mengambilkan tongkatnya, memberikannya kembali.

“Terima kasih”, jawab Pak Tua, masih terbatuk-batuk.

Ini beras Bapak?” tanyaku, sambil menunjuk butiran beras yang berceceran di bawah kaki kami. Mataku lalu tertuju pada sekantung plastik kecil berwarna hitam yang sudah koyak di samping keranjang sepedaku yang terguling.

“Astaghfirullah…, maaf Pak. Biar saya ganti”.

Aku mengeluarkan uang tiga ribu dari sakuku. Uang jajanku hari ini. Tapi apa cukup untuk mengganti beras Pak Tua? Duh, kasihannya Pak Tua. Melihat penampilannya, sepertinya itu beras yang sangat berarti baginya. Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan. Uang ini tak kan cukup mengganti beras Pak Tua yang sudah tumpah tak karuan itu. Sedih.

Pikiranku campur aduk tak karuan. Jam di tanganku sudah menunjuk pukul tujuh seperempat. Pasti sudah jauh tertinggal jam pertama pelajaran, apalagi masih harus menjalanihukuman lari keliling lapangan dulu. Alamat harus masuk pada jam kedua nih. Tak mungkin pula kembali ke rumah, mengambil beras ibu untuk mengganti beras yang tumpah ini. Lucu kalau harus terlambat masuk sekolah lebih dari satu jam. Alasan apapun akan sulit diterima.

Tiba-tiba terbersit di pikiranku suatu ide. Nanti sore aku akan ke rumah Pak Tua, mengganti sekantung plastik kecil berasnya dengan beras ibu di rumah. Aku akan menceritakan semua kejadian ini pada ibu. Tak apalah kena marah sedikit. Semua juga salahku. Tapi aku yakin, ibu pasti bersedia mengganti beras Pak Tua. Ibuku baik sekali. Sekalipun kami sendiri tergolong keluarga kurang mampu, tapi ibu akan dengan senang hati menolong orang lain yang lebih membutuhkan. I love You, Ibu.

“Pak, rumahnya di mana? Maaf, saya sedang terburu-buru. Saya terlambat masuk sekolah. Ini ambil uang saya. Nanti sore saya akan ke rumah Bapak, mengganti beras yang tumpah ini. Bapak mau kan?”

Pak Tua memandangiku sejenak, dari kepala hingga sepatuku, lalu menghela nafas. Matanya kemudian beralih ke sepedaku yang terguling, memandangi tas dan buku-bukuku yang berserakan tak karuan. Sejenak ia terdiam. Kemudian ia mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya yang kusam. Kulihat ada coretan-coretan kecil di situ. Ia menyerahkannya padaku. Di situ tertulis, beras 1 kg, gula ½ kg, dan kopi ¼ kg. Oh, daftar belanjaan rupanya.

Tulis dibaliknya, alamat saya”, kata Pak Tua sambil menyodorkan kertas itu padaku.

Aku bergegas mengambil pulpen dari dalam tasku yang tergeletak di tepi keranjang sepeda, lalu bersiap menulis alamat Pak Tua.

“Jalan Kopi No. 7. Selatan lapangan bola, tengah kota. Nanti sore saya tunggu ya,” kata Pak Tua.

“Tengah kota? Jauh sekali Pak? Bapak ke sini jalan kaki?” tanyaku sambil membayangkan perjalanan sekitar lima kilo yang ditempuh Pak Tua dari rumahnya sampai sekitar sekolahku.

“Iya, saya sudah biasa jalan-jalan pagi. Tidak apa-apa. Saya keluar selepas subuh tadi. Mampir pasar situ sebentar, lalu lewat sini.”

“Wah, hebat, Bapak masih kuat jalan jauh, hehe.” Keteganganku mereda. “Nanti saya cari alamatnya. Pak, ini ada uang tiga ribu, Bapak bawa saja tidak apa-apa. Nanti sore saya datang, ganti berasnya.”

“Tidak usah, itu uang saku kamu. Nanti kamu tidak bisa jajan.”

“Saya memang tidak biasa jajan, Pak. Biasanya saya tabung, siapa tahu ada keperluan sekolah mendadak. Jadi tidak masalah, Bapak bawa uang ini ya.”

“Terima kasih, saya pun masih ada sedikit uang di saku saya. Nanti sajalah, saya tunggu kamu di rumah ya.”

“Baiklah kalau begitu. Saya tinggal ke sekolah dulu ya. Ini sudah terlambat sekali. Maaf sekali lagi, Pak.”

“Oh, silahkan, saya sudah tidak apa-apa sekarang”

“Terima kasih, Pak”

“Sama-sama, hati-hati, jangan ngebut lagi”

Aku Tersenyum.

Pak Tua yang baik, pikirku. Beruntung ia tidak memaki-makiku. Aku pun kembali mengayuh sepeda menuju sekolah. Tiba-tiba baru kusadari, aku belum menanyakan nama Pak Tua. Fiuh, tololnya aku!

***

Sepulang sekolah, aku menceritakan semua kejadian tabrakan itu pada ibu. Seperti yang sudah kuduga, sedikit omelan keluar dari mulut ibuku. Sungguh hanya sedikit. Selebihnya nasehat-nasehat yang panjang tapi menenteramkan. Ibu segera menuangkan beras ke kantung plastik besar dan menyuruhku mengantarkan ke rumah Pak Tuasore ini.

“Kita lebihkan saja berasnya. Pak Tua pasti senang,” kata ibu.

“Ya, Bu.” Aku menurut. Senang ibuku mengerti. Senang memiliki ibu seperti ini. Ibuku idolaku.

***

Selepas Ashar, dengan lima kilo beras di sepeda bututku, aku menuju rumah Pak Tua, yang katanya di sebelah selatan lapangan bola, di tengah kota. Meskipun aku belum pernah sekalipun menonton pertandingan bola di lapangan itu, tapi aku sering melewatinya saat mengantarkan ibuku mengambil uang pensiun ayahku yang sudah meninggal lima tahun lalu. Kami biasa naik angkot berdua ke kantor pos tak jauh dari lapangan bola, sedangkan dua adikku menunggu di rumah.

Sore ini lapangan bola itu tidak terlalu ramai. Kelihatannya hanya digunakan untuk latihan beberapa anak saja. Tawa mereka terdengar bersahut-sahutan. Dalam hati, aku sungguh menikmati perjalanan ini. Asyik juga sore-sore begini jalan-jalan ke kota naik sepeda.

Kuhentikan sepeda di sisi selatan lapangan bola, mencari papan nama Jalan Kopi. Oh itu dia, harus menyeberang dulu. Tampak di seberang, rumah-rumah indah berderet rapi, berdiri megah. Aku menyeberang. Tapi sesampaianya di seberang, aku jadi bingung. Ragu menyeruak di dadaku. Benarkah di sini memang alamat Pak Tua itu. Sepertinya ini kompleks orang-orang berduit. Lihatlah rumah-rumah ini, semuanya besar dan mewah. Aku makin ragu, lalu membayangkan penampilan Pak Tua waktu itu yang sangat kumuh dan memelas. Jangan-jangan Pak Tua berbohong.

Tak jauh dari situ kulihat ada pos penjaga. Di dalamnya ada dua oranglaki-laki berumur sekitar lima puluhan. Mata mereka tertuju padaku. Pastilah tahu kalau aku kebingungan. Aku memberanikan diri mendekati pos itu, lalu menanyakan alamat yang tertera pada secarik kertas pemberian Pak Tua.

Pak, saya mencari alamat ini,” kataku sambil menyodorkan kertas kecil itu.

Kedua orang itu mengambil kertas yang kusodorkan, membaca sebentar, lalu saling berpandangan. Keduanya mengangguk, berpaling ke arahku.

Silahkan ikut, saya antar, Mbak sudah ditunggu.” Kata salah seorang penjaga.

“Ditunggu siapa, Pak? Yang punya rumah nomor tujuh itu?”

“Ya, Pak Budiono. Mari…, biar sepedanya ditaruh di sini saja, dititipkan teman saya. Aman kok.”

Setengah ragu, kuikuti penjaga itu sambil menenteng sekantung plastik lima kilo beras. Kami masuk ke dalam semacam gang yang lebar jalannya. Di sisi kanan kirinya tampak rumah-rumah mentereng. Kami berjalan pelan melewati rumah nomor satu, lalu dua, tiga, empat, lima, enam, dan…. Oh Tuhan, rumah nomor tujuh.

Aku tertegun. Rumah itu luar biasa indah, paling indah di antara rumah-rumah di sekitarnya. Aku merasa bagai berdiri di depan istana saja. Di halamannya tertanam rapi bunga-bunga indah berwarna-warni. Sungguh sedap di pandang mata. Kurasakan tubuhku sedikit gemetar, antara takut dan kagum atas pemandangan di depanku. Benarkah ini rumah tujuanku?

Pak Penjaga memencet bel di depan pagar rumah. Sejenak kemudian, pintu gerbang terbuka dengan sendirinya. Aku dipersilahkan masuk.

Masuk saja, Mbak. Pak Budiono menunggu di dalam.”

“Saya takut keliru, Pak. Jangan-jangan saya diberi alamat yang salah.”

Kalau Mbak ragu, saya antar masuk ke dalam ya.”

“Boleh, Pak. Wah, kalau keliru, saya jadi malu nanti, hehe.”

Aku mengikuti Pak Penjaga dari belakang. Kami berhenti di depan pintu sebuah ruangan yang terbuka. Ruang tamu rupanya. Ruangan yang sungguh besar dan luas. Di dalamnya berisi sofa ruang tamu berwana merah bata. Tampak elegan dan tentu saja mahal. Terlihat juga lukisan-lukisan alam menempel di dinding. Di sudut ruangan terdapat pot bunga besar yang terisi rangkaian bunga warna-warni. Dari tempatku berdiri tercium bau wangi yang segar. Tapi Tidak ada siapa-siapa di situ. Aku menaruh kantung beras yang kujinjing di dekat kakiku.

Hampir sepuluh menit kami berdiri menunggu penghuni rumah keluar menyambut. Hatiku berkecamuk tak karuan. Aku takut diusir karena dianggap peminta-minta. Ya Tuhan, tolonglah aku.

“Mbak, tunggu saja di sini ya. Saya tinggal ke pos depan. Ada panggilan,” kata Pak Penjaga.

Aku mengangguk kelu. Pak penjaga berlalu meninggalkanku. Sunyi.

Terdengar suara langkah sepatu di belakangku. Tok tok tok tok. Aku menoleh. Oh Tuhan…

Yang kurasakan sesudahnya adalah rasa tak percaya, bengong, terpana, dan beku luar biasa. Aku melihat Pak Tua dalam bentuk yang berbeda. Ia berbalut hem biru bersih, dengan setelan celana biru gelap dan mengenakan ikat pinggang hitam dari kulit yang mengkilap. Sepatunya pun hitam mengkilap. Kini aku melihat sosok perlente, layaknya bos besar perusahaan atau pejabat tinggi pemerintah. Ia tampak gagah meskipun tua. Sosok kumuh yang kutabrak kemarin hilang, lenyap sama sekali. Hampir roboh kakiku memandang Pak Tua di depanku saat ini. Lidahku kelu. Pak Tua itu ternyata….

“Halo…, kita ketemu lagi. Masih ingat saya kan?” Pak Tua menyapaku sambil tersenyum.

“Yyya…, mas-masih Pak. Sssaya..., aduh, saya tidak mengira ini semua.”

“Hahaha, ayo mari masuk. Saya kenalkan istri saya di dalam,” ajak Pak Tua mengabaikan keterpanaanku, mencoba menaikkan kepercayaan diriku. Caranya bicara, serasa sudah mengenalku sangat akrab.

Aku masih berdiri terpaku.

Lhoh…, ayo…” Ia masuk mendahuluiku, lalu memanggil seseorang.

Seorang perempuan tua keluar. Anggun gayanya, melangkah dengan senyum mengembang. Tangannya dibentangkan ke arahku. Kutaksir umurnya sekitar tujuh puluhan, sebaya dengan Pak Tua itu. Ia memelukku tanpa beban.

My Dear, ini dia tamu kita. Come in, ayo duduk. Ini rumah kami. Ayo, jangan malu-malu. Wah, bawa apa itu?”Perempuan itu menunjuk kantung plastik di dekat kakiku. Oh Tuhan, aku malu sekali.

“Hahaha…., kamu lucu sekali,” canda Pak Tua. “Saya kan cuma pingin kamu datang. Tidak usah bawa apa-apa. Pasti berat ya bawanya. Bolehlah sini saya terima. Nanti saya masak. Terima kasih ya.” Pak Tua berkata tanpa beban.

Suami istri itu bergantian mencairkan suasana hatiku. Di selingi gurauan, mereka bercerita tentang diri mereka. Aku menimpalinya dengan bertanya ini dan itu. Kami saling bercerita tentang diri kami masing-masing.

Terungkaplah kini siapa mereka. Mereka suami istri yang saling mencintai, sayang sekali tidak punya anak. Mereka memiliki perusahaan perkebunan yang besar dan berkembang. Mereka senang menyantuni orang-orang yang kekurangan. Tetapi sungguh, tak kulihat sedikitpun mereka menyombongkan diri dan berbangga-bangga dengan apa yang dimilikinya. Mereka selalu merendah. Mereka membuatku jatuh hati.

“Jadi Bapak waktu itu menyamar ya?” tanyaku lugu.

Ah tidak juga, saya senang jalan-jalan pagi, berbaur dengan banyak orang.Saya tanya sopir saya, mana lagi daerah yang perlu saya bantu. Sopir saya menunjukkan sekitar kampung kamu itu. Saya pergi saja ke situ pura-pura belanja. Masak saya ke situ pakai pakaian keren begini. Bisa diketawain ayam-ayam situ saya nanti, hahaha. Saya pingin merasakan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, kira-kira ada nggak yang menganggap saya rendah. Eh, ternyata saya ketemu kamu. Pakai kamu tabrak lagi, hahaha. Tapi kamu berhenti menolong saya, malah mau ganti beras saya yang tercecer itu pakai uang jajan kamu. Saya langsung tahu kamu anak baik. Pasti orang tuamu senang punya anak kamu”.

Kami terus bercerita berganti-ganti. Aku suka sekali. Waktu bagai berlalu sangat cepat.

Menjelang magrib, aku pamit pulang. stri Pak Tua memelukkku erat, sambil berkata, “Mampir saja kapan pun kamu mau.”

“Biar sopir saya antar kamu ya. Tinggal saja sepeda kamu. Nanti saya belikan yang baru. Sudah waktunya ganti sepeda kamu,” kata Pak Tua setengah memaksa. Aku menolak, tapi percuma. Caranya bicara itu menghipnotisku untuk menerima pemberiannya, untuk mengiyakan perkataannya. Hari itu aku pulang dengan segunung pemberian dari Pak Tua. Sekarung beras, sepeda baru, tas dan peralatan tulis baru.

***

Ibu tergopoh-gopoh menyambutku pulang, tapi kemudian berhenti mendadak. Matanya terbelalak melihat sopir Pak Tua menurunkan barang-barang, lalu membawanya ke ruang tamu.

“Ibu, saya menyampaikan salam dari Pak Budiono. Beliau berterima kasih telah ditolong anak Ibu ini. Oh iya, saya tadi dititipi amplop Pak Budiono untuk Ibu. Maaf saya langsung pamit pulang saja. Pak Budiono membutuhkan saya. Monggo, terima kasih.” Sopir pun berlalu. Ibuku terlihat bengong.

Di dalam kamar, kami buka amplop pemberian Pak Tua itu ternyata berisi uang sepuluh juta rupiah.

“Ibu, itu beras lima kilo kita untuk Pak Tua, berubah jadi uang sepuluh juta, hahaha,” candaku.

Malam itu aku ceritakan semua pada ibu.Hari yang indah, tuah indah lima kilo beras. Alhamdulillah….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun