Mohon tunggu...
afuah
afuah Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebening Hati Asih

25 Juni 2012   01:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:34 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepenggal doa Asih suatu ketika:

Tuhan, berilah aku kesempatan menolong sesama dan kumerasa indah serta damai karenanya…

***

Malam pukul sembilan, bel pintu rumah berbunyi.

“Aih, siapa gerangan bertamu malam-malam begini? Padahal pintu pagar sudah kututup setengah jam yang lalu,” gerutu Asih.

Ayah dan Ibu Asih sedang pergi ke luar kota. Pulangnya mungkin tengah malam nanti. Tinggal Asih dan adiknya sendirian di rumah.

“Ih, si tamu pasti membuka pintu pagar sendiri. Sungguh tak sopan,” gerutu Asih lagi.

Asih mengintip tamu itu dengan menyingkapkan sedikit gorden jendela. Ternyata Pak Darso, pengantar air bersih langganan keluarga. Lega hati Asih. Rasanya tak ada yang perlu ditakuti.

Asih sudah mengenal baik Pak Darso. Sosoknya tua, kecil, dan kurus. Ia tinggal bersama istri dan tiga orang anaknya yang semuanya masih sekolah. Anak bungsunya satu kelas dengan adik Asih, sekolah di SD kampung.

Hidup Pak Darso sangat pas-pasan. Pekerjaan utamanya sebenarnya menjual bakso kojek berkeliling kampung dengan sepeda bututnya. Pelanggan utamanya adalah anak-anak SD kampung. Saat jam istirahat, ia selalu siap di depan pagar SD, melayani anak-anak yang hendak membeli bakso kojeknya. Sore harinya, ia biasa berkeliling kampung menjajakan dagangannya. Sedangkan malam hari, ia menjadi salah satu tenaga pengantar air bersih pesanan warga kampung Asih.

Di kampung Asih, orang biasa memasak dengan membeli air bersih dalam jerigen karena air tanah kampungnya berasa agak asin. Ada salah seorang warga yang menangkapitu sebagai peluang usaha untuk menjual air bersih dari sumber mata air pegunungan yang dipesannya dari luar kota. Tentu saja warga kampung Asih menyambut hangat usaha itu. Salah satunya Pak Darso.

Bukan lantaran Pak Darso pun membutuhkan air bersih untuk memasak, tapi juga karena ia jadi bisa memperoleh masukan tambahan dari tenaganya mengantar jerigen-jerigen air dengan gerobak dorong ke rumah-rumah warga yang membeli. Asih paham, Pak Darso butuh uang tambahan untuk biaya hidup keluarganya.

Namun kedatangan Pak Darso malam ini menimbulkan tanda tanya di kepala Asih. Asih merasa tak memesan air, dan Pak Darso pun datang tidak dengan gerobak airnya. Ada apa gerangan?

Asih membuka pintu ruang tamu perlahan. Adiknya berdiri di belakangnya, ingin tahu.

“Assalamu’alaikum,” kata Pak Darso membungkukkan badan.

“Wa'alaikum salam....  Oh, Pak Darso. Monggo, Pak. Ada apa, kok malam-malam begini ?”

“Bapak ada?”

“Oh, sedang pergi. Ada perlu apa, Pak?” tanya Asih, namun ragu mempersilahkannya masuk. Maklum, rumah sepi. Untungnya Pak Darso paham, jadi mereka ngobrol di depan pintu.

“Nganu, Mbak, saya dengar lagi nyari tukang kebun.”

“Oh, iya benar. Itu kebun saya sudah rimbun, penuh rumput alang-alang. Tukang kebun yang biasanya nangani sekarang sudah dapat kerjaan tetap, jadi tenaga angkut sampah warga. Kerjanya setiap hari. Jadi sekarang nggak bisa lagi kerja di kebun saya.”

“Nganu, Mbak, saya mau kok bersih-bersih kebunnya.”

“Yang bener Pak? Saya sih monggo saja kalau Pak Darso mau. Tapi bersih-bersihnya kapan? Pak Darso kan kalau siang jualan?”

“Lha kan sedang liburan. Kalau liburan jualan saya sepi. Sebentar lagi mau lebaran. Saya mesti cari tambahan buat persiapanlebaran, Mbak.”

Asih merenung sejenak. “Hmm, benar juga ya. Ini sudah liburan. Sebentar lagi puasa dan lebaran. Pasti banyak liburnya, sedangkan pemasukan utama Pak Darso dari berjualan bakso kojek di SD. Duh, kasihan sekali,” pikir Asih. Ia miris membayangkannya.

“Baiklah, Pak. Saya yakin pasti Ayah dan Ibu nanti juga setuju. Sekarang susah sih nyari tukang kebun,” ujar Asih mantap menerima tawaran Pak Darso. “Tapi kok mesti malam-malam begini sih Pak, ngomongnya. Saya sempat kaget tadi, saya kira siapa, hehe.”

“Kalau ditunda-tunda, takut kedahuluan orang, Mbak.”

“Hehehe…, baiklah. Pak Darso mau mulai kerja kapan?”

“Besok juga boleh, Mbak. Lha wong saya nganggur.”

Nggih, silakan saja. Soal pembayaran gimana, Pak? Mau dihitung borongan apa harian?”

“Lha terserah Panjenengan, Mbak. Saya belum pernah kerja di kebun.”

“Biasanya tukang kebun yang lama, dibayar harian. Seharinya lima puluh ribu. Pak Darso keberatan nggak?

“Alhamdulillah, segitu sampun cukup, Mbak. Saya seneng sekali,” jawab Pak Darso.

Pak Darso sumringah sekali mendengar nominal yangAsih sebutkan, dan tampak sekali ia tak bisa menyembunyikannya. Asih mengerti, agaknya itu jumlah yang banyak baginya.

Jadi besok saya datang jam tujuh ya, Mbak.”

Nggih, Pak.”

“Matur suwun, Mbak. Kalau begitu saya pamit dulu. Nggak enak, nggak ada bapak ibu. Assalamu’alaikum,” pamit Pak Darso seraya membungkukkan badan.

Nggih..nggih…, monggo. Wa’alaikum salam,” jawab Asih membalas membungkukkan badan.

Asih masih berdiri melihat Pak Darso berjalan meninggalkan halaman dengan langkah riang. Entahlah, Asih pun merasakan hal yang sama. Senang, tenyata Pak Darso-lah orangnya, yang akan bekerja membersihkan kebunnya. Senang, karena ia bisa membantu kesulitan keuangan Pak Darso.

***

Pagi ini Pak Darso menepati kata-katanya. Datang pukul tujuh. Ayah Asih sudah berangkat kerja. Oleh Asih dipersilahkannya Pak Darso ke samping rumah. Kebunnya memang terletak di samping rumah. Lumayan luas, tapi tak terawat.

Beberapa waktu yang lalu ayahnya meminta Asih untuk mencarikan tukang kebun. Ayah Asih terlalu sibuk untuk bisa merawat kebun. Ibunya juga tak punya waktu mengurusi kebun. Beliau harus bekerja memberi kursus privat komputer, keliling ke rumah-rumah anak didiknya. Asih sendiri sibuk kuliah dan adiknya harus menekuni sekolah. Terpaksa untuk merawat kebun harus selalu mengandalkan tukang kebun.

Kebetulan hari ini Asih kuliah agak siang. Dari balik jendela kamar di samping kebun, diamatinya kerja Pak Darso. Ulet sekali. Dibabatnya rumput-rumput ilalang dengan cukup rapi.

Hal yang disukanya dari Pak Darso, beliau seperti tak pernah mengeluh akan kesusahan hidupnya. Demi anak istrinya, ia mau menjalani pekerjaan apapun asal halal. Seberat apapun akan dilakoninya jika itu dapat membahagiakan istri dan anak-anaknya.

Pak Darso tak mau menjadikan kemiskinanannya untuk meminta-minta. Namun, jika diberi ia akan dengan senang hati menerimanya dan mengucapkan terima kasih sepenuh hati.

Asih masih ingat saat menjelang lebaran tahun lalu, Pak Darso seperti terkejut saat tiba-tiba Asih menyodorkan amplop sedekah untuknya. Namun dengan senyum bahagia dan mata berbinar-binar, ia menerimanya dan berulang kali mengucapkan terima kasih.

“Aih, rasanya mau menangis saat itu. Aku bahagia melihat reaksinya itu,” bayang Asih. “Kurasa-rasakan kok malah aku sendiri yang melow dan nelangsa melihat hidup Pak Darso ya, sedangkan Pak Darso santai-santai saja menyikapi nasibnya,” lamun Asih.

Hari beranjak siang, Asih pamit pada Pak Darso untuk berangkat kuliah.

“Pak, saya mau kuliah dulu. Terserah Pak Darso mau ngaso pulang atau di sini… terserah. Kalau mau di sini, sudah saya siapkan makan siang di belakang. Shalatnya bisa di mushalla. Tapi maaf, rumah harus saya kunci ya, Pak.”

“Oh, nggih, Mbak. Monggo silakan. Saya ngaso di rumah saja. Nanti saya balik lagi neruskan.”

Asih pun berangkat kuliah. Ada senyum di sudut bibirnya, ia seperti merasakan sesuatu di dadanya. Rasa damai dan indah.

***

Pak Darso membutuhkan waktu lima hari untuk menyelesaikan kerjanya membersihkan kebun. Hasilnya sangat memuaskan. Kini kebun Asih tampak terang dan makin luas saja.

Hari ini waktunya mengupah hasil kerja Pak darso. Ayah dan ibu harus pulang sampai malam. Uang upahnya telah dititipkan pada Asih. Ayahnya memberi uang sebanyak 250 ribu, sesuai upah yang harus dibayarkan.

“Pak, ini upahnya. Saya bayar enam puluh ribu untuk satu hari ya, Pak.”

“Lho, katanya lima puluh ribu, Mbak.”

“Nggak apa-apa, Pak. Saya senang dengan hasil kerja Bapak. Jadi saya naikkan jadi enam puluh ribu.”

Wajah Pak Darso sumringah tiba-tiba. Seperti biasa, ia tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Aih, indah sekali Asih melihatnya.

“Saya terima kasih sekali, Mbak. Keluarga Mbak selalu baik pada saya.”

“Biasa saja kok Pak, hidup kan harus saling tolong. Kebetulan saya diberi rizki lebih, jadi saya bisa menolong Bapak. Ya kan?”

Pak Darso manggut-manggut senang.

“Ini upahnya…, tiga ratus ribu. Coba Bapak hitung lagi.”

Sampun, ndak usah…, saya percaya kok. Matur suwun, Mbak,” ujar Pak Darso agak malu.

“Dan ini, ada sedikit bonus, empat puluh ribu, untuk ongkos pijat. Saya tahu Pak Darso capek bekerja berat lima hari di kebun. Pak Darso butuh pijat, hehe.”

Pak Darso terperanjat, sepertinya tak menyangka akan mendapat bonus bertubi-tubi. Pak Darso menerima semua pemberian itu dengan kegembiraan yang membuncah. Terbayang anak-anak dan istrinya di rumah, pasti ikut senang dengan hasil besar yang didapatnya.

Pak Darso akhirnya pamit, setelah mengucapkan terima kasih yang diulang-ulang. Asih tersenyum maklum mempersilahkan. Ada rasa yang menjalar ke sekujur tubuhnya. Damai dan indah.

SejenakAsih merenung, seperti ada sesuatu yang menyentuh ingatannya. Lalu, ia pun kembali tersenyum ketika sadar bahwa pintanya pada Tuhan ketika itutelah terkabul.

“Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah, untuk rasa damai dan indah ini. Terima kasih telah mengabulkannya, seperti pintaku” ucap Asih dalam hati, sepenuh hati.

Sungguh  nuansa damai dan Indah dari hati yang bening. Sebening hati Asih.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun