Puasa tahun ini bakal menjadi tahun kedua buat Dewi (23) tanpa ibu tercinta. ”Sekarang Mami sudah tak bisa mene- mani saat puasa lagi karena sudah meninggalkan kami semua,” kata Dewi.
Pengalaman tahun lalu membuktikan padanya bahwa tanpa ibundanya berpuasa menjadi lebih sulit. Jika dulu bangun tidur, dia bisa langsung makan sahur, sekarang sebagai anak tertua, ia harus bertanggung jawab menyiapkan makan sahur untuk ayah dan kedua adiknya. Tiap hari Dewi harus bangun jam 02.30 untuk memasak terlebih dulu, meski ia kadang merasa kerepotan bangun sepagi itu.
Sementara urusan buka puasa diserahkan pada Dea, adiknya. ”Dia baru lulus kuliah dan belum kerja jadi sekarang kerjaannya jadi koki.
Kami gantian. Yang penting, buka puasa beres saja.” Walau semua pekerjaan rumah bisa dihandel dengan baik, tapi Dewi tetap saja merasa tetap ada yang sangat berbeda dengan ketika sang ibu masih hidup. ”Rasa masakan nggak seenak yang Mami buat, apalagi pas makan, terasa banget nggak ada beliau. Sepi, tapi mau bagaimana lagi? Jalani saja, kan?” ujar cewek manis ini dengan nada sendu.
Itu agak berbeda dengan Mira (21), mahasiswi Jurusan Sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi di Semarang ini. Sebagai orang yang tinggal jauh dari orang tua, ia harus melakukan persiapan benar-benar menghadapi bulan Puasa. Menyiapkan buka dan sahur sendirian. Meski Mira adalah anak kos, ia lebih suka memasak sendiri ketimbang membeli makanan warungan di sekitar tempat kosnya.
”Awalnya berat, karena di kos kan apa-apa sendiri. Menyiapkan makanan berbuka dan sahur sendiri. Tapi selalu siap roti atau mi dan susu. Jadi lebih praktis kalau bangunnya telat,“ ujar gadis itu.
Mira juga enggan mengandalkan kebaikan teman kos untuk membangunkannya. Karena ia sering kesulitan bangun makan sahur, ia meminta ibundanya yang tinggal di Pontianak untuk membangunkan. “Ditelepon kalau pas sahur, tapi kadang tidak mempan. Jadi tidak sahur. Makanya kalau buka puasa suka makan banyak,“ tambahnya.
Kalau boleh memilih, tentu saja Mira lebih menginginkan menjalani ibadah puasa bersama keluarga tercinta. Tapi tuntutan citacita membuatnya terpisah jarak dari mereka.“Tapi ada hikmahnya. Aku jadi lebih mandiri.“
***
SELAIN Dewi dan Mira,, ada banyak orang yang berpuasa lebih berat ketimbang orang lainnya. Andi, misalnya, “terpaksa“ harus menjalani puasa sendirian karena istrinya menderita maag kronis yang sehingga disarankan dokter untuk tidak berpuasa.
“Ini bakal jadi tahun kedua aku puasa sendiri. Kalau buka puasa relatif lebih mudah. Tapi kalau sahur ya makan sendir karena tidak setiap sahur ditemani istri,“ cerita Andi Memang tidak mengenakkan bagi Andi, tapi ia tetap berusaha menikmati makan sahur sendiri. “Yang terpenting kan niat ibadahnya.“
Lain halnya dengan Ira, selama bertahun-tahun dia menjalankan ibadah puasa sendirian. Dia dan sang suami berbeda agama. Meski begitu, tak ada persoalan di antara keduanya yang mengganggu Ira menunaikan kewajibannya.“Mas Doni sangat mendukung, dan kami sedari awal memang sudah punya komitmen untuk hal itu.“
Hal itu bisa dilihat dari perhatian Doni yang selalu mengingatkan dan memberi vitamin ketika Ira akan menjalankan puasa keesokan harinya. "Kurang rajin minum vitamin. Suami sayalah yang selalu mengingatkan sekaligus menyiapkannya,“ ibu dua anak ini.
Doni juga menemani Ira sahur. Bahkan, kadang-kadang jika Ira terlalu lelap dalam tidurnya, sang suamilah yang membangunkannya. “Dia tak puasa tapi rajin mene mani sahur.“
Saling pengertian pasangan suami-istri ini juga diperli hatkan kepada ua buah kepada dua buah hatinya. Ira tidak memaksakan anak-anaknya turut berpuasa seperti dirinya. Ia membebaskan mereka menentukan pilihan.
Ya, dalam kenyataan, ada sebagian orang Islam yang menjalankan ibadah puasa tidak dalam situasi dan kondisi yang menyenangkan. Apa yang dialami mereka yang dise
but di atas hanyalah contoh kecil saja. Tapi, justru dari situlah sebenarnya, mereka mendapatkan makna puasa yang bukan hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tapi juga godaan lainnya yang bersifat psikologis.
Yang jelas, mereka punya cara sendiri sendiri dalam memaknai puasa. Dewi yang harus menggantikan peran mendiang ibunya, kepasrahan Ira harus berpuasa sendiri kare na suaminya tidak seagama, atau Andi yang harus ser ing merasa “seorang diri“ di rumah saat puasa karena sakit yang diderita istrinya, atau pun Mira yang jauh dari keluarganya, pasti beroleh hikmah yang mahal. Paling tidak, dalam diri mereka terben tuk karakter yang mandiri, sabar, atau tahan banting.
Namun, apa pun yang dilakukan seseorang di bulan Puasa ini, semuanya kembali kepada kesadaran diri masing-masing dalam memahami makna puasa, serta makna-makna lain yang akan menentukan sikap dan periku diri ke depan. laku diri ke depan.
Maka, yang terpenting dari semua itu adalah niat, hati, dan pikiran kita untuk menjalankan ibadah puasa, bukan penampilan lahiriah atau materi peribadatan yang dilakukan. Menurut ahli agama, puasa merupakan suatu proses bagi orang untuk lebih bertakwa. Selamat berpuasa, semoga mendapat berkah ilahi. (62) NONI ARNEE
Bebrayan-Suara Merdeka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H