Mohon tunggu...
Willy Demetrius
Willy Demetrius Mohon Tunggu... -

Menulis pengalaman sebagai sebuah “berita” tentang cara pandang, pola pikir, cara menilai, dan cara memberi “bahasa” sederhana pada hidup. Menulis itu indah! Keindahannya bukan terletak pada kata dan bahasa yang menghiasi isi tulisan, melainkan pada bagaimana cara kita membuat setiap pengalaman kita berbicara kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Etika Global Menjawab Krisis Multidimensi

11 Agustus 2014   21:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:48 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sadar atau terbuai, menerima atau pun menolak, tetapi sebuah fakta baru tentang dunia sedang ditata. Yasraf Amir Piliang menyebutnya “dunia yang dilipat” yang di dalamnya berbagai sisi dunia tampil dengan wajahnya yang baru. Yasraf mengajak kita untuk bertamasya menelusuri ruang-ruang kehidupan kontemporer, menyaksikan fenomena realitas baru, yang tercipta akibat pemadatan, pemampatan, peringkasan, pengecilan dan percepatan dunia (2004:37). Dunia telah menjadi kecil seperti sebuah desa (global village) dan desa kita pun menjadi besar-mendunia. Inilah globalisasi; menggiurkan sekaligus menyisakan sejumlah persoalan etis seperti munculnya relasi instrumentalistik yang eksploitatif dan dominasi kapitalisme yang melahirkan lebih banyak lagi manusia-manusia yang terlienasi dari dunianya sendiri.

Yang menjadi pertanyaan untuk kita, manakah yang lebih dahulu muncul: kesadaran atau globalisasi? Pada tahap awal evolusi, kesadaranlah yang pertama kali muncul. Kompleksitas kesadaran manusia hari ini turut ditentukan pula oleh semakin besarnya intensionalitas atau semakin meluasnya jaringan relasional dengan ‘yang lain’. Dengan kata lain, kompleksitas manusia juga turut ditentukan oleh globalisasi. Selain karena relasionalitas tersebut, kompleksitas manusia juga ditentukan oleh kedalaman refleksivitasnya yang memungkinkan ia menyadari kesadarannya sendiri. Kecanggihan refleksivitas tersebut menyebabkan segala sesuatu yang dianggap pasti/mapan terancam dekonstruksi. Gema jauhnya adalah relativisme.

Everything is possible! Dalam bidang moral, relativisme bisa nampak dalam dua varian: pertama, tidak diindahkannya pertimbangan moral dalam setiap pengambilan keputusan dan kedua, terjadinya friksi antar budaya menyangkut kebenaran moral dari suatu tindakan. Bentuk kedua ini memang problematis sebab bagaimanapun sejarah etika adalah sejarah kebudayaan manusia; sejarah pergulatan manusia dengan realita hidupnya. Konsekuensi eksesif dari kompleksitas dan kecanggihan berpikir manusia nampak dalam persoalan ekologis dan bioetis. Superioritas manusia menyebabkan ia cenderung bersikap dominatif-eksploitatif terhadap alam. Pada titik ini, persoalan ekologis adalah juga persoalan bioetis sebab pengerusakan alam berarti pula merosotnya penghargaan terhadap hidup.

Jika kita merunut semua persoalan etis yang ada, benang merahnya adalah bahwa hidup tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang berharga dan patut dijaga. Dunia bukan lagi rumah yang nyaman untuk didiami karena masing-masing orang hidup dalam kecurigaan dan permusuhan. Hidup tidak lagi menjadi suatu nilai yang layak untuk diperjuangkan. Persoalan global terutama terjadi karena adanya ketidakseimbangan dalam aspek-aspek kehidupan. Dalam rangka itu, perkembangan sains dan teknologi mesti diimbangi dengan pengembangan spiritual dan pemahaman ekologis. Demokrasi pun harus diimbangi dengan prinsip moral yang tegas untuk menghindari adanya tindakan diktatorial yang represif. Persoalan yang mengglobal hendaknya juga harus ditangani dengan suatu solusi yang juga bersifat global atau universal dan mutlak.

Merujuk pada konsepsi pemikiran Hans Kung (Teolog Swiss/1928) tentang etika global sebagai standar etik atau fondasi moral untuk sebuah keteraturan global. Prinsip dasarnya adalah bahwa setiapmanusia harus diperlakukan secara manusiawi dan bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab moraluntuk mewujudkan tatanan global yang lebih baik lewat perjuangan mengakkan HAM, keadilan, kebebasan, perdamaian dan pemeliharaan bumi. Sebuah usaha bersama untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan itu tidak boleh dihalangi baik oleh agama maupun tradisi dan bahwa perjuangan tersebut bersifat transreligi dan transkultural. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk tatanan global yang lebih baik. Keterlibatan demi hak asasi manusia, kebebasan, keadilan, perdamaian dan pelestarian bumi mutlak diperlukan. Perbedaan agama dan tradisi budaya harus tidak membatasi keterlibatan kita bersama dalam menentang segala bentuk kekejaman dan bekerja untuk kemanusiaan yang lebih besar. Prinsip-prinsip iniharus mampu ditegakkan dengan sebuah keyakinan etis. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa sebuah agama membumi atau tidak

HansKung mendasarkan etika globalnya pada agama dan nilai-nilai yang dikandung di dalamnya, meskipun menyadari bahwa dalam diri agama terkandung potensi konflik yang dapat dipicu oleh heterogenitas ajarannya. Agama tetap otoritatif sekaligus paling mampu menjadi dasar ontologis etika yang bersifat universal dan absolut. Keyakinan agama akan yang transenden atau yang biasa disebut dengan Tuhan, itulah yang menjadi dasar untuk prinsip etis yang mutlak dan universal. Keyakinan itu muncul dari lubuk hati manusia sendiri. Kerena itu, yang absolut dan transenden bukanlah kontrol eksternal (heteronomy), melainkan kontrol internal yang didasarkan pada keyakinan akan sesuatu yang melampaui diri (teonomi). Dengan demikian, teonomi justru memberi peluang bagi aktualisasi diri yang sejati dan memungkinkan kita untuk menerima tanggunag jawab personal.

Menurut Kung agama justru dapat menjadi basis untuk sebuah identitas psikologis, kedewasaan, kesadaran diri yang sehat dan juga dapat menjadi motivator bagi perubahan sosial. Singkatnya, Kung melihat agama sebagai suatu sistem nilai yang bersandar pada sesuatu yang mutlak dan tak dapat diganggu gugat. Karena itu, dalam moralitas yang berbasis agama, tidak ada lagi alasan untuk membuat yang mutlak itu menjadi relatif. Agama-agama di dunia selain menjadi basis, tetapi dalam dirinya sendirinya mampu memberikan kontriusi positif bagi etik global antara lain menjadikan manusia lebih manusiawi dan bermartabat serta “kaidah emas” yang bersifat imperative, apodiktik dan tak bersyarat. “Apa yang tidak engkau inginkan, jangan lakukan itu terhadap orang lain!” Oleh karena itu, perlunya menghargai manusia dan hidup secara keseluruhan karena hidup adalah anugerah yang perlu dihargi dan dimaknai. Jika hidup dihargai, maka hamper bisa dipastikan bahwa persoalan-persoalan etis dapat diminimalisir.

Etika global Kung juga relevan di Indonesia karenayang menjadi fator terbesar pemicu kekerasan di Indonesia adalah agama. Pluralisme agama di Indonesia telah menjadi lahan subur bagi tumbuhnya benih kebencian dan permusuhan karena masing-masing agama membuat klaim kebenaran mutlak (eksklusif) dan tidak terbuka terhadap keberbedaan yang ada. Dalam konteks ini, etika global menjadi ajakan yang baik untuk mengangakat kesadaran kita ke tingkat yang lebih tinggibahwa di balik setiap rumusan doktrinal yang berbeda terdapat suatu basis ontologis yang sama yaitu realitas tertinggi (The Supreme)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun