Suatu ketika, seorang teman bercerita kepada saya kalau ia sedang gegana alias gelisah, galau, merana. Hal ini dikarenakan teman sekantornya sebentar lagi akan resign dari pekerjaannya dan mencari pekerjaan baru. Temanku ini sangat sedih. Ia tak menyangka sebentar lagi ia akan berpisah dengan teman baiknya itu. Ia merasa begitu kehilangan, bagaikan kehilangan separuh dari jiwanya.
Tanpa kita sadari, hidup tak lepas dari perpisahan. Bahkan sejak kita lahir ke dunia ini, perpisahan itu sudah kita alami. Saat kita keluar dari kandungan ibu, saat itu pulalah kita mengalami sebuah perpisahan. Kita berpisah dengan kandungan ibu, tempat kita tinggal selama 9 bulan dan menikmati kehangatannya. Karena itu, saat lahir dan menghirup aroma dunia yang baru, kita pun menangis, seolah menangisi perpisahan kita dengan kandungan ibu. Setelah itu, kita pun terus mengalami berbagai pengalaman perpisahan.
Saat beranjak dari bayi menjadi anak-anak kita harus berpisah dengan tempat tidur semasa kita bayi karena saat ini kita mulai tidur ditempat tidur yang baru, berrpisah dengan kehangatan pelukan dan gendongan ibu saat kita masih bayi karena saat ini kita mulai bisa berjalan sendiri. Saat kita sekolah dan memiliki banyak teman kita harus  berpisah dengan teman bermain karena  keluarga berpindah rumah, berpisah dengan teman sekolah karena kita harus bersekolah di sekolah yang baru, berpisah dengan kakak yang harus bekerja ditempat yang jauh, berpisah dengan orang tua karena kita harus kuliah di luar pulau, berpisah dengan teman kuliah yang mulai mencari pekerjaan baru ditempat yang baru, berpisah dengan teman kantor yang memilih resign dan mencari pekerjaan baru, berpisah dengan orang-orang dekat yang kita cintai kerena kematian. Hal ini menunjukkan bahwa perpisahan akan selalu kita alami setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik dalam hidup kita.
Perpisahan itu bagaikan hantu. Ia datang tapi tak diundang, dan pergi tanpa pamit. Oleh karena itu, detik-detik menjelang perpisahan biasanya merupakan momen-momen paling menakutkan, apalagi bila perpisahan itu kita alami dengan seseorang yang paling kita sayangi. Inilah yang dialami teman yang saya ceritakan diawal tadi. Detik-detik menjelang perpisahan dengan sahabatnya, ia tidak bisa memejamkan mata dan tidur. Pikirannya selalu diliputi ketakutan akan kehilangan sahabat baiknya itu. Â Bagi temanku ini, perpisahan dengan sahabatnya itu merupakan hal yang tak pernah ia harapkan, karena jika itu terjadi, pasti akan terasa sedih dan menyakitkan. Padahal, perpisahan adalah sebuah keniscayaan dalam hidup.
Perpisahan selalu diawali dengan sebuah pertemuan. Namun pertemuan dan perpisahan memiliki perbedaan. Pertemuan itu hanya sementara. Tidak ada yang abadi dalam sebuah pertemuan, karena sewaktu-waktu orang yang bertemu dengan kita akan diambil dari kita lewat sebuah perpisahan. Inilah yang membuat perpisahan itu menjadi sebuah kepastian. Ketika kita bertemu dengan seseorang, maka sudah merupakan kepastian bahwa suatu saat kita akan berpisah dengan orang tersebut. Pertemuan selalu menyertakan bayang-bayang perpisahan dan perasaan sedih dan takut akan sebuah perpisahan. Pertemuan merupakan persiapan menuju perpisahan. Tetapi perpisahan selalu menyertakan bayang-bayang harapan bahwa suatu saat kita akan bertemu lagi dengan orang yang berpisah dengan kita. Jadi, selama masih ada harapan, perpisahan seharusnya tidak menakutkan.
Bila pertemuan adalah persiapan menuju perpisahan, maka perpisahan adalah titik akhir dari segala perngalaman kita bersama orang yang berpisah dengan kita. Dalam perpisahan segala pengalaman bersama orang yang berpisah dengan kita dirangkum menjadi sebuah kenangan yang tidak akan terlupakan. Oleh karena itu, setelah berpisah kita akan selalu mengenang segala peristiwa dan pengalaman bersama orang yang berpisah dengan kita. Teman, sahabat, saudara, orang yang kita cintai mungkin akan diambil dari kita lewat perpisahan, tetapi kenangan akan mereka tidak akan diambil dari kita. Kenangan akan mereka akan selalu ada dan menemani ziarah hidup kita. Dalam proses mengenang itu, terjadi proses evaluasi diri baik dan buruk, negatif dan positif segala pengalaman kita bersama orang yang berpisah dengan kita. Maka, mestinya kita bersyukur dapat mengalami momen perpisahan, karena melalui perpisahanlah kita mampu mengambil sikap reflektif terhadap diri kita. Ada momen pembersihan diri setelah terjadinya perpisahan.
Ada sebuah cerita. Suatu hari, seorang anak muda bertanya pada gurunya: "guru, ceritakan padaku tentang perpisahan". Mendengar pertanyaan itu, sang guru hanya bisa tersenyum. Setelah duduk, meletakkan tongkatnya dan menghela nafas, sang guru pun mulai bercerita.
"Perpisahan adalah awal bagi yang baru. Seperti rajawali yang meninggalkan anak-anaknya; seperti ular yang membuang kulit luarnya saat musim panas; pun seperti letupan dalam buih, setiap hentakan perpisahan selalu melahirkan pencerahan yang akan terbekal dalam waktu selanjutnya. Tidak perlu benci, tidak perlu dendam, tidak perlu pembalasan. Seperti air yang selalu mengalir ke bawah, perpisahan adalah alami. Meninggalkan dan ditinggalkan selalu menjadi bagian hidup anak manusia. Sebab, kelak setiap orang pasti akan meninggalkanmu atau justru kamu yang akan meninggalkan mereka.
Tidak ada kebersamaan yang abadi. Bumi selalu berputar; pagi selalu hadir sebagai titik pisah antara malam dan siang. Seperti anak panah yang melesat dari busurnya, anak panah itu akan berlari menuju sasarannya, dan busur pun siap kembali menjadi pelontar bagi anak panah lainnya. Itulah proses, itulah roda, itulah waktu.
Perpisahan pasti berbekas. Setiap keratan dan sayatannya adalah hasil dari pisau-pisau tajam kehidupan yang mengukir lembut setiap jengkal tubuhmu. Terima dan resapi itu, karena kelak lewat perpisahan engkau akan menjumpai setiap helai hatimu telah menjadi lebih indah dari sebelumnya. Bukankah benang sari harus meninggalkan tangkainya lalu memeluk erat putik bunga untuk menjadi buah?"
Setelah beberapa waktu merasapi kata-kata gurunya, aura cerah memancar dari wajah anak muda itu. Ia pun undur diri dan mulai melangkah melanjutkan hidupnya.