Hujan yang jarang turun di Bogor akhir-akhir ini membawa dampak yang cukup jelas jika kita tengok di Bendung Katulampa. Jauh berbeda ketika banjir jadi primadona siaran berita di tivi-tivi nasional kita, Bendung Katulampa yang mengalirkan derasnya air sungai Ciliwung yang termahsyur tiba-tiba menjadi kering kerontang memperlihatkan bebatuan dan balok-balok pemecah arus di dasar bendung.
Sungguh pemandangan yang kontras. Salah satu penanda rusaknya DAS adalah fluktuasi aliran yang tinggi. Pun demikian di Ciliwung ini, kontras ini menunjukkan betapa sakitnya sungai yang menyimpan sejarah panjang dalam peradaban manusia penghuni Bogor hingga Ibu Kota Jakarta sana. Kerusakan ini tak hanya untuk manusia tapi untuk semua makhluk hidup penghuninya. Bahkan menurut Menteri Kehutanan Siti Nurbaya, sudah 90% makhluk hidup di Sungai Ciliwung sudah rusak. Entah berapa banyak ikan asli Ciliwung yang telah hilang.
Yang lebih miris lagi, dengan surutnya air maka dasar sungai menjadi terlihat jelas dan hampir bisa ditebak apa yang ada di sana. SAMPAH! Sepertinya tak berlebihan jika Kang Parno menyebut bahwa Bogor ini sudah 'darurat sampah'. Bahkan rata-rata sampah harian yang masuk ke Sungai Ciliwung per hari mencapai 7 ton, menurut KLHK.Â
Angka ini tentu akan mudah untuk dihitung jika ingin mengetahui berapa banyak sampah setahun di Kali Ciliwung. Dari sejumlah itu, berapa sih yang bisa diangkut, dibersihkan oleh Pasukan Orange, Laskar Karung, dinas-dinas lain? Dan ke mana kah akan lari sampah-sampah ini? Tak lain pasti ke laut. Indonesia telah menjadi penyumbang kedua terbesar sampah di lautan yaitu sebesar 187,2 juta ton per tahunnya. Miris banget.
Kembali ke Katulampa pagi itu. Beberapa orang relawan yang berkumpul, dikomandoi oleh Pak Andi Sudirman sang Kuncen Katulampa, kita sepakat untuk turun ke sungai melakukan apa yang kita bisa untuk mengurangi beban sampah. Nah, saking banyaknya sampah yang ada, kita dihadapkan pada pilihan dilematis antara mengangkat sampah ke atas namun terbatas atau membakar sampah yang ada di badan sungai.Â
Akhirnya kita memilih untuk membakar sampah yang ada. Kenapa? Karena ternyata di dasar sungai banyak juga ranting dan batang pohon yang menyangkut di batuan pemecah arus yang akhirnya jadi tempat sangkutan sampah-sampah yang lain. Nah di situlah akhirnya sampah dibakar.Â
Kondisi dasar sungai yang kering juga memudahkan hal ini dilakukan. Ini mengingatkanku pada satu istilah yang kukenal lewat salah satu drama dengan latar dunia penerbangan, yaitu istilah "Second Best Option" atau pilihan terbaik kedua. Memang membakar sampah bukanlah pilihan terbaik, tapi itu adalah pilihan terbaik kedua karena pilihan pertama sulit untuk dilakukan.
Suara ledakan dari batang-batang bambu yang terbakar memeriahkan suasana pagi itu. Sengatan matahari dan unggunan api membuat suasana semakin panas dan gerah. Banyak hal yang kita temukan pagi itu, dari sisa-sisa lebaran korban yang benar-benar memakan korban akibat masih saja ada orang yang membuang jeroan hewan ke sungai, ada ikan mati karena kekeringan ataupun keracunan, dan jangan tanya berapa banyak Anakonda Ciliwung yang kita temukan. Setiap ledakan bambu terbakar kita sambut dengan ketawa. "Sudah beneran seperti perang ya," terdengar celetukan seseorang. Ini memang sebuah perang.
Selama hampir 2 jam kami berada di dasar sungai di bawah Bendungan Katulampa. Kami lakukan apa yang kami bisa. Ya, pilihan terbaik kedua memang bukan lah pilihan terbaik.
Setelah naik ke sungai, Pak Andi dan kawan-kawan di Posko Katulampa sudah menyiapkan sajian 'ngaliwet' yang sungguh sedap dan diakhiri dengan obrolan kopi.
Sungguh luar biasa kan cara kami menggunakan akhir pekan.