Mohon tunggu...
Nonblok
Nonblok Mohon Tunggu... -

" harga barang tinggi, tidak ada pilihan lain selain menulis"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengkaji Wacana SBY Jadi Wapres

29 September 2013   14:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:14 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Abstrak,

Mengamati di berbagai media, banyaknya wacana untuk menjadikan eSBY sebagai Wakil Presiden menurut penulis adalah menarik untuk diperbincangkan dan dikaji. Sesuai  titah Konstitusi kita yakni Pasal 7 UUD 1945 (Amandemen) bahwa Presiden dan Wakil Presiden dibatasi jabatannya untuk dua kali secara berturut-turut.  Artinya, untuk periode 2014-2019 ini eSBY tidak dapat lagi mencalonkan diri sebagai Presiden.

Di sisi lain dan tanpa embel-embel partai, elektabilitas dan populernya sosok seorang eSBY masih memiliki konstituen tinggi dan setia di sebagian lapisan rakyat Indonesia di tengah polemik Partai Demokrat (PD) yang ‘gonjang-ganjing’. Kesetian masyarakat pada sosok inilah yang dinilai sebagian orang terutama para elit PD berguna  untuk penyelamatan nama baik internal PD yang kian turn keredibilitasnya.  Lantas, apakah boleh eSBY maju sebagai Wapres? Sejauh ini tidak ada larangan dari konstiusi maupun UU terkait Pemilu Prsiden, maka sangat boleh dan bisa saja. Apabila ini terjadi pada Pemilu 2014 nantinya menurut penulis, hal ikhwal adalah sebuah peristiwa yang heboh , maha seru serta baru pertamakalinya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, di mana mantan Presiden bersedia tampil untuk menjadi wakil presiden dalam periode yang berlanjut.

Sah! Sah! Sah!

Ilustrasi di atas hampir mirip  dan sudah  terjadi pada tingkat pemerintahan daerah yaitu, Kota Surabaya sebagai contohnya.  Pada waktu itu Bambang DH telah menjabat walikota Surabaya  dua periode 2002-2005 dan 2005-2010. Karena amanah undang-undang tidak membolehkan pemimpin daerah lebih dari 2 periode maka Bambang DH maju sebagai wakil walikota ‘memboyong’ Risma yang sebelumnya berlatar belakang seorang birokrat (kepala dinas pertamanan) di Pemkot Surabaya melalui gerbong PDIP.

Ada opini atau rumor di masyarakat yang belum bisa dibuktikan kebenarannya menyebutkan bahwa inisiatif dan dasar pertimbangan Bambang adalah suatu sekenario dari Partai PDIP sendiri agar nantinya tampuk kepemimpinan kota Surabaya akan jatuh kembali ke tangan Bambang.  Di tengah- tengah perjalanan karir Risma sebagai walikota, upaya-upaya dari gosip itu ternyata ada dalam rangka menjatuhkan Risma sebagai walikota. Dengan  dikeluarkan hak angket dari pansus DPRD kota Surabaya yang menilai bahwa ada pelanggaran hukum atas  penerbitan Perwali  No. 56 dan 57 tahun 2010 tentang kenaikan pajak reklame karena tidak mencantumkan konsideran UU 28/2008 tentang pajak daerah yang menuntut risma untuk lengser dari jabatannya sebagai wali kota. Bila ini terbukti maka risma harus turun dari jabatannya dan sesuai dengan Pasal 35 ayat 1 UU 32/2004 (Pemerintahan Daerah) maka mutlak bagi Bambang sebagai Wakil Walikota  harus naik dan mengisi jabatan Walikota. Akan tetapi sekenario dari isu tersebut kandas karena tidak ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap akan pelanggaran hukum akibat ulah Risma (inkrachtvangewijsde).

Berbeda halnya di Kabupaten Garut, kepala daerah periode 2009-2014 yakni Aceng Fikri diputus bersalah oleh Mahkamah Agung melalui amar putusan bernomor 05/P.PTS/I/2013/01/P/KHS atas kasus pernikahan siri  (pemakzulan), sehingga bupati dari calon independen itu harus lengser dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 17/P/ Tahun 2013. Dan siapakah yang menggantikannya ? Agus Hamdani sebagai Wakil Bupati Garut (PPP) yang menggantikan posisi Bupati meski kurang dari 1 tahun masa periode jabatan. Dan masih banyak lagi kepala daerah di Indonesia yang jatuh berguguran dari kursi singgasana akibat ‘stimuls’ kekuatan politik.

Awas Politik Cari Celah !

Penulis setuju bahwa dengan kekuatan besar politik segalanya bisa menjadi mungkin dan sah. Namun sebelumnya ada beberapa pertanyaan yang mendasar untuk menguji wacana sebagai berikut :

1.Apakah Majunya eSBY menjadi Wapres akan menurunkan pamor atau gengsi eSBY yang notabene adalah turun peringkat ?

2.Apa yang perlu diwaspadai apabila wacana untuk mengusulkan eSBY sebagai Wapres nantinya di lakoni dan terbukti benar?

Pada poin pertama tentu sebagian besar kalangan masyarakat menilai demikian. Pandangan negatif akan menghujam pada sosok eSBY karena atas keputusan ini bisa dikategorikan sebagai krisis eksistensi pribadi. Namun sebagian kalangan masyarakat juga menilai banyak sisi positifnya. Sangatlah bagus dan Mulia apabila masyarakat Indonesia masih menginginkan sosok eSBY untuk tetap tampil dalam kekuasaan pemerintah meski bergeser posisi menjadi Wapres  untuk memuaskan sebagian masyarakat perindu sosok guna kemajuan bangsa dan Negara.

Melepas gengsi jabatan sejatinya pernah dilakoni eSBY pada saat Kongres Luar Basa (KLB) pada maret 2013 lalu di mana eSBY rela turun pangkat dari Ketua Majelis Tinggi menjadi Ketua Umum menigisi kekosongan jabatan karena Anas Urbaningrum terjerat TPK kasus Hambalang. Meski sifatnya sementara, perlu diapresiasi bersama bahwa ini adalah sebuah keberanian diri yang mendasar untuk memuaskan internal PD yang bergejolak.

Pada poin ke dua inilah yang perlu dicermati secara bersama dan mendalam. Peluang untuk menggulingkan kekuasaan seorang pemimpin di era KPK sekarang ini sangatlah mudah. Kasus-kasus hukum baik berat maupun ringan dan terkadang sepele bisa dijadikan instrument untuk menyerang pribadi dan/ atau golongan sekaligus.

Yang perlu digarisbawahi adalah apabila opsi tersebut hanya digunakan sebagai celah untuk dapat meraih kursi Presiden kembali atau disebut sekenario mencari celah .

Dalam kondisi tertentu dan tujuan tertentu, sekenario mencari celah sangatlah bisa dan dimungkinkan atas nama kepentingan rakyat. Menurut penulis, ada beberapa metode dan cara untuk ‘memuluskan’ rencana tersebut diantaranya :

1.Menggunakan tokoh ‘proxy’ atau perantara sebagai “kambing hitam” : Misalkan di Pemilu 2014 nanti Ruhut sebagai Presiden akan berpasangan dengan eSBY sebagai Wakilnya . Di tengah jalan dalam kurun waktu 1 tahun , dengan dukungan besar kekuatan politik, kasus kasus pidana untuk melengserkan Ruhut akan digelar kembali, sehingga Ruhut atas kesalahan yang terbukti benar akan dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Konstitusi sesuai pasal 7B ayat 1 dan ayat 3 UUD 45. Secara otomatis  SBY yang sebagai Wakil akan menjadi  Presiden hingga habis masa jabatan (pasal 8 ayat 1 UUD 45). Ini bisa saja terjadi sesuai Pasal 7A UUD 45 dimana Presiden dan/ atau Wakil presiden dapat diberhentikan bila terbukti melakukan penghianatan Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Waki presiden. Atau dengan kata lain seseorang yang memiliki kasus-kasus hukum yang belum terjamah hukum akan sengaja di usung dan diposisikan menjadi Presiden sebagai ‘tumbal’.

2.Dengan sekenario pengunduran diri.

Misalkan saja poin ini ilustrasinya adalah DI sebagai Presiden dan SBY sebagai wakil. Sebelum maju sudah terjadi kesepakatan politik (deal) dengan sekenario sebagai berikut : DI yang memiliki rekam jejak kesehatan yaitu transplantasi hati adalah sangat kuat dijadikan pertimbangan untuk mengundurkan diri dari jabatan. Di mana suatu ketika setelah menjabat sebagai Presiden, DI dengan alasan medis dinyatakan dokter bahwa tidak mampu melaksanakan tugas berat yang akan membahayakan kesehatannya, setelah DI mengundurkan diri sebagai Presiden maka SBY akan mengisi jabatan Presiden yang berhenti  sesuai ketentuan Pasal 8 ayat 1 UUD 45.

Pasal 6 ayat 1 UUD 45 yang dijadikan alasan Presiden untuk berhenti menyebutkan syarat  bahwa Calon Presiden dan Wakil Presiden harus mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas serta diatur juga dalam UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wapres.

Penjabaran di atas hanyalah 2 (dua) dari sekian cara untuk mensiasati ketentuan di Konstitusi dan UU kita. Dan Sekali lagi, Ilustrasi di atas hanya mengajak kita berfikir bahwa kekuasaan Presiden yang dibatasi 2 periode tersebut niscahya dapat diperpanjang hingga 3 periode (15 tahun) atau hampir ½ dari kekuasaan Orde Baru 32 tahun yang membikin rakyat Indonesia ‘nelongso’. Karena sesuai kodrat sebagaimana dikemukakan John Emerich Edward Dalberg Acton (Lord Acton) bahwa “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan cenderung korup ,dan kekuasaan mutlak menghasilkan korup yang mutlak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun