Aku selalu kehabisan kata setiap kali menempatkanmu sebagai subjek tulisanku.
Rasanya sebanyak apapun perbendaharaan kata yang aku punya, seakan tak cukup untuk melukiskan sosok mulia sepertimu.
Ini mungkin bukan tulisan pertamaku untuk mengabadikan kisahmu yang luar biasa selama memerankan tokoh yang dipercaya Allah di dunia. Tokoh sebagai Ibuku yang luar biasa.
Anggap saja ini adalah surat ku, seperti dulu ketika kecil kita sering berbalasan surat karena jarak yang tidak memihak.
Apakah disana engkau ingat, ketika engkau mengirimkan sepucuk surat untuk pertama kali? Sementara aku yang masih begitu kecil untuk tahu apa yang harus aku tulis dalam sebuah surat, tanda baca seperti apa, dan bahkan tulisanku yang entah bisa kau mengerti atau tidak.
 Masa dimana anak seusiaku sedang belajar merangkai fonem menjadi kata, sementara aku dituntut untuk merangkai kata menjadi sebuah kalimat untuk mewakili keinginanku.
Ingatkah, ketika di dalam suratmu engkau selalu menanyakan apa keinginanku.
Kemudian saat itu dengan tangan polos penuh harap aku menulis beberapa keinginan, entah itu baju atau sepatu yang aku idamkan, atau sekedar snack terbaru yang baru muncul di iklan TV.
 Dan selang beberapa bulan bersama suratmu berikutnya, engkau mengabulkan satu persatu keinginanku yang tidak penting itu.
Aku begitu senang, bahkan saat teman-teman seusiaku belum merasakan dan memiliki apa yang aku miliki, engkau yang aku tahu dengan keterbatasanmu selalu mengusahakan apa yang aku minta selalu ada.
Dan bodohnya aku, selalu ada saja permintaan tidak penting yang aku tuliskan.