Mohon tunggu...
Harirotul Fikri
Harirotul Fikri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Psikologi UIN Malang '10| Pengagum sastra | Nyaman berada di kereta, senja dan padang ilalang | Bermimpi jadi penulis dan pebisnis | Penah ingin lanjut S2. Pernah!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Logat

22 November 2014   00:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:11 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14165652551568340851

[caption id="attachment_377134" align="aligncenter" width="490" caption="rennydund.wordpress.com"][/caption]

Sesaat sebelum menuliskan sekelumit wacana ini, saya teringat tentang Jokowi yang logat bahasa inggrisnya tidak fasih dan hal itu dijadikan cemoohan serta guyonan di kalangan masyarakat. Berbicara tentang logat tidak lagi berkutat di area kemampuan berbahasa yang biasanya berkisar antara susunan kata, rumus, dan pembendaharaan kata. Akan tetapi, logat sudah masuk dalam ranah intonasi dalam pelafalan. Banyak hal yang mempengaruhi adanya logat dalam berbahasa. Bisa karena kebiasaan, atau karena 'kelenturan' orang yang bersangkutan dalam 'mengolah' lidahnya.

Dalam berbahasa, tentunya yang dapat dinilai sempurna adalah orang yang dalam berbahasa mampu pula menggunakan logat yang sesuai dengan bahasa yang sedang digunakan. Akan tetapi, kembali pada inti dari sebuah bahasa, adalah suatu media untuk berkomunikasi. Jadi terkadang kita bisa mafhum dengan logat, asal pesan dari komunikator berhasil ditangkap dengan baik oleh komunikan.
Mari kita mengaca pada kasus Jokowi. Kita tahu bahwa presiden bukanlah jabatan yang remeh. Tingkat lingkupnya sudah Internasional pastinya. Tapi dengan bahasa inggris sebagai bahasa Internasional yang 'medok'*, tentu terdengar seperti lelucon yang kerap membuat kita sebagai pendengar tertawa, atau mencibir? Tapi coba kita lihat, betapa dunia Internasional sendiri tidak peduli dengan ke'medok'an Jokowi dalam bercakap. Jangankan bahasa Inggris, wong bahasa Indonesia saja 'medok'nya masyaallah. Mungkin hal ini sejalan dengan prinsip Jokowi dalam menjalankan pemerintahan, yakni kerja, kerja dan kerja. Apa gunanya bicara fasih jika hanya sebatas omdo?**
Beda kasus, beda cerita. Kita kerap juga membaca ketidakmafhuman akan logat di lembar-lembar lowongan kerja. Banyak dari syarat-syarat dalam lowongan kerja tersebut yang tidak memperikan dispensasi terhadap calon tenaga kerja yang medok cara bicaranya. Pekerjaan yang saya tekuni misalnya, sebagai call center. Pihak perusahaan mewajibkan pekerjanya untuk berbicara bahasa Indonesia yang baik dan tidak menggunakan logat kedaerahan, dengan alasan-alasan tertentu yang masuk akal pastinya.
Serumit apapun itu logat, baiknya kita kembali pada kondisi dari tempat logat itu sendiri. Tidak seharusnya kita, sebagai orang yang baik (orang yang berusaha untuk melakukan hal yang baik juga) menertawakan atau bahkan mencibiri orang dengan logat-logat tertentu. Logat terbentuk dari lingkungan kebiasaan. Jika memang dengan logat yang tidak 'match' pun kita bisa baik dan benar dalam berkomunikasi, mengapa kita mempermasalahkan??
Malang, 21 November 2014
catatan:
medok : logat khas jawa
omdo : omong doang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun