Konflik internal Yaman dimulai pada tahun 2014 dengan munculnya pemberontak Houthi, kelompok Syiah yang memiliki keterkaitan dengan Iran. Houthi berhasil merebut kendali ibu kota, Sana'a, dan wilayah lain di negara tersebut, sehingga memicu pertentangan dengan pemerintah yang diakui secara internasional.
Akhirnya pemerintah menerima dukungan dari koalisi militer yang dipimpin oleh Arab Saudi, harapannya akan mengakhiri permasalahan dan bertujuan untuk memusnahkan pemberontak di Yaman.
Perang saudara terus berlanjut, yang mengakibatkan kerugian pada aspek ekonomi, sosial, dan terutama kemanusiaan, menyebabkan bencana kemanusiaan yang tak terbatas, termasuk kelaparan yang meluas, penyebaran penyakit, dan serangan terhadap warga sipil.
Sebagai akibatnya, Yaman diakui sebagai episentrum krisis kemanusiaan terparah di dunia. Konflik ini juga melibatkan kelompok militan Islamis lainnya dan menyebabkan depresiasi tajam mata uang Yaman, yang semakin memperburuk penderitaan penduduknya.
Dalam langkah tegas lainnya, koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi memberlakukan blokade laut, darat, dan udara di Yaman sebagai respons terhadap serangan udara rudal yang dilancarkan oleh pemberontak Houthi ke Arab Saudi, yang menargetkan kapal tanker minyak, fasilitas, dan bandara internasional.
Tindakan blokade ini secara signifikan membatasi pasokan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan bagi warga sipil, memberikan kontribusi yang besar terhadap krisis kemanusiaan yang serius dan mendorong penduduk Yaman menuju keadaan kelaparan.
Strategi militer dari koalisi semakin berkembang, bertujuan untuk mencegah bantuan yang sangat dibutuhkan dan produk esensial mencapai warga sipil, menempatkan jutaan nyawa dalam risiko yang lebih besar.
Seiring berlanjutnya konflik, Arab Saudi mulai melancarkan embargo terhadap Yaman yang merupakan serangkaian pembatasan ekonomi dan militer yang diberlakukan oleh koalisi pimpinan Arab Saudi sebagai respons terhadap konflik saudara yang berkepanjangan di Yaman.
Embargo sudah dimulai sejak 2015, yaitu terdapat pembekuan aset, pembatasan perdagangan, dan pengekangan transportasi, terutama melibatkan pemblokiran jalur laut, darat, dan udara yang mengakibatkan terhambatnya impor dan distribusi barang, termasuk bahan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.
Salah satu konsekuensi paling serius dari embargo ini adalah pembatasan signifikan terhadap bantuan kemanusiaan yang dapat mencapai warga sipil yang terdampak konflik.