Ribuan Kilometer Menuju Kamu (Burung Albatros)
1 Hari Sebelum Pernikahan
Dina mengelus sampul diary usangnya dengan lembut, seolah menyentuh kenangan yang tersimpan di baliknya. Jemarinya gemetar menyusuri huruf-huruf yang mulai memudar di kulit sampul, seakan waktu telah mengikis setiap detail, tetapi tidak dengan cerita yang tertulis di dalamnya. Buku itu berwarna merah muda, dengan gambar hati kecil di tengahnya yang kini hampir tak terlihat. Sebuah diary yang telah ia simpan selama bertahun-tahun, menjadi saksi bisu dari segala rasa yang pernah ia tumpahkan.
Dina menatap gaun berwarna peach yang tergantung rapi di balik pintu lemari. Gaun itu adalah simbol dari perannya sebagai bridesmaid besok. Namun, di balik keanggunan gaun itu, ada kegelisahan yang tak terungkap. Ia masih tidak bisa menyangka bahwa hari ini akhirnya tiba---hari di mana ia akan menjadi saksi perjalanan cinta Gendis dan Bayu. Dua orang yang telah ia kenal sejak lama, dua orang yang telah mewarnai hidupnya dengan cerita-cerita yang tak terlupakan.
Malam ini, di kamar hotel yang sunyi, Dina memutuskan untuk membuka kembali diary itu. Sudah lama ia tidak menyentuhnya. Diary ini bukan sekadar buku harian biasa. Ini adalah janji yang ia buat bertahun-tahun lalu---janji untuk memberikannya kepada Gendis di hari pernikahannya. Dan besok, janji itu akhirnya akan terpenuhi.
### **3Tahun Lalu**
Dina masih ingat betul hari itu, seolah kejadian itu baru terjadi kemarin. Ia membuka halaman diary-nya, dan matanya tertuju pada tulisan yang ia buat tiga tahun lalu:
*"Hari ini Gendis menangis. Dia bilang Bayu tersenyum saat melepasnya di bandara, tapi aku tahu ada sesuatu yang patah di dalam hatinya."*
Kalimat itu membawanya kembali ke momen yang tak pernah bisa ia lupakan. Gendis berdiri di gerbang keberangkatan, tas ransel besar tergantung di pundaknya, sementara tangannya erat menggenggam tiket pesawat. Matanya merah, sembari menatap Bayu yang berdiri beberapa langkah di depannya. Bayu berusaha tersenyum, tapi Dina tahu, senyum itu hanyalah topeng untuk menutupi luka yang sama-sama mereka rasakan.
"Kita bakal baik-baik aja, kan?" suara Gendis bergetar, hampir seperti bisikan. Ia menatap Bayu dengan harapan yang terluka, seolah mencari kepastian yang tak pernah bisa diberikan oleh siapa pun.