A. Nojeng
Universitas Muhammadiyah Makassar
asisnojeng@unismuh.ac.id
Sebuah Renungan untuk yang menganggap dirinya "AKU". Saya mengawali tulisan ini dengan petuah Makassar "Kritik Paccallayya, tangarak passailea, lanisurotaji antu akkale tutu rikalengta".
Mendapatkan kritik, saran, ataupun masukan memang sangat sulit diterima ketika kita menganggap diri kita telah menjelma menjadi AKU. Energi negatif akan menolak atau membuang energi positif yang akan masuk ke tubuh, tak peduli seberapa baik energi positif itu, tak peduli seberapa baik energi bagi tubuh yang menyokong dan menopang AKU hingga tetap berdiri.
Seandainya, petuah karaeng Pattingalloang menjadi dasar pembentukan AKU ketika hendak menjadi seorang pemimpin atau wakil rakyat maka yakinlah bahwa AKU yang memimpin akan bijak, dan menerima segala masukan dari yang dipimpinnya. Petuah yang sangat filosofis dan (saya pikir) maknanya tidak terlalu disembunyikan, tujuannya agar yang termaksud langsung merasa dan tahu diri.
Petuah Karaeng Pattingalloang yang pertama, yakni "Punna taenamo naerok nipakaingak karaeng manggauka" yang artinya kalau pemimpin sudah tidak ingin lagi menerima kritikan atau sara'. Kalau ini diabaikan, maka inilah yang dimaksud oleh Karaeng Pattingalloang sebagai awal dari keruntuhan atau kehancuran sebuah Negeri. Faktanya, memberikan masukan kepada pemimpin dianggap kritik. Anehnya, kritik dianggap sebagai sebuah pembeberan kekurangan pemimpin. Lalu, suara rakyat suara Tuhan dperuntukkan kemana?
Mengkritik di Zaman sekarang, masih bolehkah?
Era milenial tak melulu membuat kita menjadi seorang yang 'membeo' atau latah. Kritik yang terbangun di lorong-lorong, di warung kopi, di kos atau di rumah-rumah, dan ditempat ibadah seakan terbungkam oleh undang-undang ITE dan keAKUan seorang pemimpin. Lantas, hal ini membuat pemerintah tak boleh di kritik? Jawabannya, boleh. Seorang pemimpin yang baik akan mampu menerima kritik walaupun itu sifatnya tertolak oleh nurani. Lalu, 'tukang' kritik seharusnya mampu memilih posisi yang tepat bahwa saya ini hanya boleh memberi saran dan masukan, tidak semua masukan boleh diterima. Dewasa ini, semakin banyak yang pandai bahkan sangat mahir memberikan kritik tapi sangat sedikit yang mampu memberi masukan, saran, dan kritikan dengan santun. Yah, lagi-lagi karena AKU menganggap bahwa kritik yang terbangun merupakan ejawantah dari AKU yang selama ini menjadi pemikir.
Memberi masukan dan kritikan sebaiknya disertai dengan ilmu dan pengetahuan terhadap bahan kritik yang akan terlontar dari bibir 'tukang' kritik. Jika tidak, maka (barangkali) si pelontar kritik akan masuk ke kategori yang kedua dari petuah Karaeng Pattinngalloang yakni "Punna taenamo tumanngasseng ilalang ripakrasanganga" yang artinya, jika dalam sebuah negeri atau daerah tak ada lagi orang yang berilmu pengetahuan, maka itu adalah awal dari keruntuhan atau kehancuran negeri atau daerah tersebut. Sejatinya, kritik harus berdampingan solusi.
Tak sadar, ada AKU dalam diri!