Mohon tunggu...
Noh Boiliu
Noh Boiliu Mohon Tunggu... -

Saya sebagai seorang pengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tugas Mendidik sebagai Mistis (Fikasi) Keseharian

13 Februari 2017   23:22 Diperbarui: 14 Februari 2017   00:42 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Maujadi apa muridku? Besar kepala, besarhati, atau besar secara proporsional. Kekudusan? Janganlah membayangkan kata ini sebagai kata yang membuat seseorang seolah tak menginjak bumi alias manusia setengah dewa. Manusia setengah dewa tidak selamanya berada dalam pertapaan,dimana pertapaan sebagai jalan terserapnya egoke dalam diri YangKudus. 

Kekudusan diri tak harus dilihat sebagai keterpisahan dari hiruk-pikuk keseharian manusia dan menyendirikan diri dalam pertapaan/kontemplasi; menjaga diri terhadap dan mengikuti aturan agama secara literalistic. Kekudusan diri tak selamanya dan tak semestinya menyendirikan diri dalam kontemplasi melainkan kekudusan diri harus dilihat sebagai tindakan melibatkan diri dalam hirukpikuk kesemestaan. Kekudusan diripun selalu dan sebaiknya berbunyi humanis. Misalkan, pahamilah kekudusan diri sebagai tidak membiarkan diri mengambil yang bukan miliknya atau dalam tren istilah saat ini, korupsi. Kekudusan diri yang menafikan kehidupan keseharian, memisahkan antara keber-Tuhan-annya dengan tugas kesehariannya adalah kekudusan diri yang dangkal, seperti juga yang dikatakan tokoh PAK, Robert W. Pazmino.

Memang kekudusan diri sebagai titik pertemuan karakter ilahiah dalam kefanaan manusia dan inilah yang saya sebut misti(s/fikasi) dan berlangsung dalam keseharian manusia. Bacalah, kecaman Yesus sebagai seorang guru terhadap para AhliTaurat. Mengapa mereka dikecam? Mereka dikecam karena menciptakan gap antara mistis (fikasi) personal dengan keseharian (praksis).

Mereka melihat kekudusan hanya sebatas aturan berdoa, waktu berdoa, dll. Bacalah bagaimana Yesus membandingkan kekudusan diri antara para ahli taurat dan orang Samaria. Dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, apakah si Samaria tidak dalam kekudusan diri?. Si Samaria telah mempertemukan kekudusan diri dalam kesehariannya yang terbaca dari fenomena tindakan menolong orang yang jatuh ke tangan para penyamun.

Bacalah bagaimana Yesus memberikan pengajaran kepada murid-muridNya, bukankah keilahianNya tertangkap dalam tindakan memperlakukan murid- muridNya?.

Dalam konteks kita saat ini, saat kita “bersentuhan” dengan mahasiswa/I kita tidak sekedar membagikan pengetahuan keilmuan melainkan memberikan

Pengaruh positif dengan memberikan dorongan, bimbingan dan arahan. Mistis (fikasi) personal sang guru akan bertemu dalam tindakan, “bagaimana memperlakukan” mereka sehingga meninggalkan kesan nilai kepada mereka. Itulah yang saya maksudkan dengan tugas mendidik sebagai mistis (fikasi) personal.

Jika tugas mendidik tidak dilihat sebagai mistifikasi personal dalam keharian tugas mendidik, maka bukankah kita sudah memproklamirkan bahwa Allah mati?. Ditengah-tengah kebisingan globalisasi informasi dan ekonomi pasar, keseharian yang banal, telah menjadi kelaziman. Kerumunan nomad pemuja tubuh, petarung capital, pendaki karier, dan penjilat kekuasaan telah mengubur kecemasan eksistensial mereka, yang menyembul dari kolam keseharian, ke dalam kesibukan. Kondisi modern telah menanduskan kehidupan religius. Telah hilangkah yang mistis dewasa ini ditengah-tengah kegiatan mendidik?. Marilah kita didik mereka agar menjadi “orang”, itu juga adalah kekudusan diri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun