Sadarkah anda, bahwa para remaja Indonesia sedang mengalami Krisis moral atau Demoralisasi. Mereka seakan tidak kenal dengan budaya sendiri, lupa dengan nilai – nilai amalan dalam pancasila, ingkar terhadap perintah –perintah Tuhan Yang Maha Esa. Apa yang menyebabkan hal demikian? Salah satu faktor yang akan saya angkat yaitu Alokasi Nilai. Dalam bukunya Dasar – Dasar Ilmu Politik (2007:21) Prof. Miriam Budiardjo mengatakan “Pembagian dan Alokasi adalah pembagian dan penjatahan dari nilai – nilai dalam masyarakt. Nilai tersebut dapat bersifat abstrak dan konkret”. Nilai yang saya angkat sesuai dengan tema ini adalah Kualitas Tayangan Sinetron yang akrab kita lihat pada saat ini.
Sejatinya nilai - nilai tersebut di alokasikan agar tidak terjadi konflik, namun pada kenyataannya pengalokasian ini sering kali tidak merata, sehingga menyebabkan konflik. Contoh dari kasus ketidakmerataan dalam pendistribusian nilai-nilai di Indonesia adalah dalam hal penyiaran tayangan sinetron di televisi saat ini. tidak bisa kita pungkiri lagi, serbuan sinetron di hampir seluruh stasiun televisi swasta Indonesia tidak beranjak dari tayangan yang menjual mimpi, konflik, mistik, kekerasan, skandal, selingkuh, perebutan harta warisan, kekuasaan, termasuk repbutan pacar.
Hal itu tidak terlepas dari kuatnya arus globalisasi yang di iringi oleh gaya kebarat-baratan (westernisasi) yang kuat pada saat ini. Jarang sekali sinetron indonesia yang mengangkat cerita perjuangan, nilai keseharian masyarakat, kerja keras, etos kerja, dan nilai – nilai positif kehidupan sehari-hari. kalaupun dibuat kendalanya ada di jalan cerita yang monoton, tak jauh dari ngobrol di meja makan, jalan-jalan dan pacaran di mall, menyetir mobil. Kapan belajar, beramal, beribadah, dan etos-etos positif lainnya tak pernah dibahas.
Memang pada dasarnya suatu tayangan yang ditonton oleh seorang remaja harus diiringi oleh bimbingan oleh kedua orang tua, di arahkan kepada implementasi yang baik dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi dalam perspektif lain, bisa jadi memang begitulah cerminan selera yang rendah dari para penikmat sinetron Indonesia. Paling tidak, asumsi ini menunjukkan, tayangan yang ingin ditonton justru sesuatu yang berada di luar keseharian mereka. Sesuatu yang berada di awang-awang, terbenam dalam ranah khayali yang membebaskan dari kondisi tertekan berbagai persoalan hidup sehari-hari, terutama kondisi ekonomi yang tidak kunjung membaik di tengah lilitan tuntutan kebutuhan hidup terus yang mencekik. Logika sederhananya, kehadiran sinetron penjual mimpilah yang bisa menjadi obat sementara untuk melupakan rasa muak atas kondisi kehidupan yang morat-marit.
Berangkat dari keprihatian itulah, tulisan ini mencoba memaparkan telaah kritis kondisi sinetron di tanah air yang menjadi salah satu faktor demoralisasi dikalangan remaja saat ini. Snapshot pemetaan persoalan didasarkan pada beberapa fenomena terakhir yang menonjol, khususnya terkait aspek rendahnya kreativitas dan mutu sinteron sebagai sebuah karya seni yang seharusnya tidak hanya menjadi tontonan (hiburan), tetapi juga sekaligus menjadi tuntunan (sarana edukasi). Terakhir, penulis memberi tawaran alternatif bagi penonton televisi dalam menyikapi maraknya sinetron secara proporsional melalui pendekatan literasi media, yang memposisikan penonton tidak hanya sebagai penikmat pasif sinetron, melainkan sebagai penonton yang cerdas dan aktif mengkritisi berbagai bentuk tayangan di media massa
Nama : NOGIE PRABA HENSYAH
Kelas : A (Indralaya)
NIM : 07031281621083
Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Politik
Jurusan : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik