Mohon tunggu...
Nofriyaldi Chaniago Al-Minangkabawi
Nofriyaldi Chaniago Al-Minangkabawi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tidak begitu banyak yang istimewa dari diri Nofri ini, walaupun demikian, lelaki yang lahir pada bulan november ini tidak tinggal diam begitu saja, dia tetap semangat mengerahkan segala daya dan upaya untuk terus merancang hidupnya. Semangat dalam hati terus dia jadikan pembakar sendi tubuh untuk terus bergerak mengambil takdirnya yang terbaik. Walau kelihatan terseok-seok tapi tidak dijadikan alasan untuk mundur dalam medan perjuangan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bermadzhabkan Imam al-Syafi’i: Larangan Taqlid Anjuran Ittiba’*

14 September 2013   13:31 Diperbarui: 4 April 2017   16:15 2229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh:Nofriyaldi Chaniago

1.Landasan Pemikiran

Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki hamba-Nya kejalan yang benar (hidayah) melalui lidah para Rasul dan alam semesta bagi yang memikirkannya. Salawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan untuk nabi Muhammad Saw. Dialah Rasul pembawa Risalah Islam yang mulia ini Begitu juga untuk keluarganya, para sahabat dan generasi setelahnya yang istiqamah mengikuti Jalan yang benar hingga akhir hayatnya.

Rasulullah Saw telah memberikan tuntunan supaya mengikuti Jalan yang lurus, yaitu mengikuti Sunnah beliau dan Sunnah khulafa’ al-Rasyidiin. Sangat mustahil bagi setiap pribadi umat islam menteladani indahnya akhlaq Rasulullah Saw. serta menangkap pesan moral dan hukum-hukum kecuali merujuk al-Qur’an dan hadits-hadits yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya atau maqbul melalui kitab-kitab mu’tabar dan lisan para Ulama.

Sebagaimana yang beliau sabdakan:

فعليكم بسنتي وسنتي الخلفإ الراشدين المهديين من بعدي, تمسكوابها وعضوْا عليها بالنواجد

Artinya: Maka berpegang teguhlah kamu dengan sunnahku dan Sunnah para Khulafa al-Rasyidiin yang mereka telah diberi petunjuk (oleh Allah) sesudahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gerahammu.

Dalam al-Qur’an Allah mengingatkan agar ta’at kepada Allah dan ta’at kepada Rasulullah Saw (Al-Maidah: 92). Orang-orang yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw dikenal dengan istilah Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah, yaituorang-orang yang mengikuti pedoman Rasulullah Saw dan para sahabatnya.

Keberadaan Sunnah Rasulullah Saw, baik secara fi’liyah, Qauliyah dan taqririyah-nya dalam ibadah ataupun mu’amalah, merupakan hal yang tak terbantahkan dalam mengikutinya seperti mengikuti al-Qur’an secara sempurna. Sebagaimana firman Allah dalam Qs. An-Nisa’: 59.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Muhammad), dan uli amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepda Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik.

Pertanyaan sederhana yang harus kita renungkan bersama adalah, sudah mampukah kita menyelesaikan persoalan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw?. Apabila kita temukan perbedaan pendapat dalam persoalan ibadah, mampukah kita menjelaskan mana perbedaan itu disebabkan oleh adanya hadits tanawwu’ al-ibadah atau ijtihad yang "benar" atau bid’ah ( dhalalah atau hasanah)?. Disinilah penulis anggap penting wacana ini digulirkan dalam rangka menyegarkan kembali istilah ahlus Sunnah Waljama’ah dalam mengikuti para Imam Mujtahid, dalam hal ini Imam al-Syafi’I.

Syari’at islam tidak terpengaruh oleh fanatisme atau iklim tertentu, relefan dengan kemampuan manusia, tanpa ada tekanan dan penganiayaaan, tidak membebani sesuatu yang dia tidak mampu untuk menanggungnya, artinya tidak ada diskriminasi dalam syari’at islam, yang menunjukkan atas perlindungan golongan, mazhab dan etnis tertentu (al-baqarah: 185, al-Hajj: 78, al-A’raf:156-157).

Dua puluh dua tahun dua bulan dua puluh dua hari lamanya, ayat al-Qur’an silih berganti turun, dan selama itu pula nabi Muhammad Saw. Dan para sahabatnya tekun mengajarkan al-Qur’an, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada akhirnya, mereka berhasil membangun masyarakat yang didalamnya terpadu Ilmu dan Iman, Nur dan Hidayah, keadilan dan kemakmuran dibawah lindungan Ridha dan ampunan Ilahi (M. Quraish Shihab, 2007, h. 11).

Sudah lebih 14 abad lamanya agama islam menyinari alam semesta ini, memberi cahaya setiap langkah yang mengimaninya, menyingkirkan kepalsuan janji-janji duniawi di dalam hati manusia yang merenunginya, menjadi inspirasi bagi siapa saja yang mengkaji kedalaman pesan-pesannya, hingga tak terhitung lagi karya-karya besar lahir meramaikan rak-rak perpustakaan dunia yang terus dikaji hingga hari ini dan mungkin sampai akhir zaman.

Imam al-Syafi’I adalah salah satu tokoh besar islam diantara ratusan tokoh atau ulama yang telah mendedikasikan dirinya untuk umat islam dan umat manusia pada umumnya. Beliau sangat selektif dalam mengambil hadits dan digelari Nashirul Hadits karena beliau adalah tokoh pertama yang tampil membela hadits Rasulullah Saw dari serangan kelompok pengingkarnya. Beliau juga tokoh perintis bagi perumusan tertulis kaedah-kaedah pokok Ulum al-Hadits, dan beliau pula peletak dasar bagi perumusan tertulis ilmu Ushul Fiqh, hingga hari ini warisan intelektual beliau terus dikaji.

Beliau dipuji karena pribadi yang teladan dan karya-karya beliau yang mengagumkan, hingga jalan hidup dan semangat ilmiah beliau menjadi inspirasi banyak orang dalam membedah hikmah yang tersembunyi dibalik ketinggian dan keindahan bahasa al-Qur’an dengan tuntunan Sunnah Rasulullah Saw. Karya-karya beliau dijadikan Rujukan ideal dalam memahami agama bagi sebahagian umat islam yang mengaguminya. Tetapi kebanyakan kurang menyadari telah mengabaikan tradisi ilmiah sang Imam. Akibatnya sulit membedakan mana ajaran yang didukung sang imam secara metodologis dan mana yang ditentang oleh sang imam.

Melalui tulisan sederhana ini, selintas penulis mencoba menawarkan bagaimana seharusnya umat islam mengikuti pemikiran dan mengapresiasi pencapaian intelektualitas imam al-Syafi’I.

2.Pengertian madzhab, Taqlid dan Ittinba’

Mazhab (bahasa Arab: مذهب), adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Madzhab juga dapat diartikan dengan metode (Manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.( Amir Syarifuddin, 1999, h. 422)

Tentang boleh atau tidaknya bermazhab, para ulama berbeda-beda pendapat, ada yang secara tegas menolak bermadzhab seperti Ibn Hazm, ada yang sedikit agak lunak dengan mengatakan tidak wajib bermadzhab, dan ada pula yang mengharuskan seseorang bermadzhab seperti pendapat Ibn Subki. Sedangkan menurut ibn al-Humam, pendapat yang paling kuat adalah tidak adanya keharusan untuk tetap berpegang pada satu madzhab. Ia mengatakan, “tidak wajib atas seseorang untuk bermadzhab dengan madzhab manapun. Tidak ada yang wajib kecuali apa-apa yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya.( Ibid. h. 425-426)

Pendapat yang terakhir barangkali yang paling selamat, karena dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mendorong manusia untuk selalu berfikir, tidak hanya mengikuti fikiran orang lain, tetapi bagaimana hendaknya setiap pribadi dizamannya menjadi bagian dalam memberikan solusi dalam menyelesaikan persoalan dengan ijtihadnya.

Pertanyaan sekarang, apakah bermadzhab artinya Taqlid atau Ittiba’?. Untuk lebih jelasnya kita lihat perbedaan keduanya.

Taqlid secara lughawi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Kalau yang dijadikan kalung itu adalah “pendapat” atau “perkataan” seseorang, maka berarti orang yang dikalungi itu akan mengikuti “pendapat” orang itu tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian.

Pengertian Taqlid Secara istilah diantaranya:

1.Al-Ghazali memberikan definisi:

قَبُولُ قَولٍ بلا حُجَّةٍ

Artinya: Menerima ucapan tanpa hujjah

2.Al-Asnawi dalam kitab Nihayat al-Ushul mengemukakan definisi:

التَقلِيد هو الاَخْذُ بقولِ غيرهِ من غير دليلٍ

Taqlid adalah Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil.

3.Ibn Subki dalam kitab Jam’ul Jawami’ berpendapat:

التَقلِيد هو اَخْذُ القولِِ من غيرمَعرفةِ دليلٍ

Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.

Dan banyak lagi definisi lain yang pada prinsipnya tidak berbeda dengan definisi yang dikemukakan di atas.

Tentang hokum bertaqlid dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan melarang orang islam ikut-ikutan dalam menjalankan agama, diantaranya firman Allah dalam surat Luqman ayat 21.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ (٢١)

Artinya: Apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". mereka menjawab: "(Tidak), tapi Kami (hanya) mengikuti apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya". dan Apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?

Dalam ayat lain Allah mengingatkan agar yang tidak tau agar belajar atau bertanya kepada yang lebih berilmu, seperti yang diisyaratkan Allah dalam surat al-Nahal ayat 43:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٤٣)

Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

Begitu buruknya Tqlid ini, Imam al-Syafi’iy pun memberikan sindiran terhadap mereka yang Taqlid, sebagaimana yang dikutip Sirajuddin Abbas dalam karya beliau Sejarah Dan Keagungan Madzhab Syafi’i(Sirajuddin Abbas, tth, h. 115).

قال الاءمام الشافعي: مَثَلُ الذى يَطٌلب العِلمَ بلاحُجَّةٍ كمثل حَاطبٍ لَيْلِ يحمل حُزْمَةً وفيه اَفْعَى تَلْدَغُةُ وهوولَايدرى

Artinya: Berkata imam al-Syafi’iy: perumpamaan orang yang mencari ilmu pengetahuan tanpa mempunyai hujjah (maksudnya ilmu tanpa dalil atau [Taqlid], sama dengan orang mencari kayu di malam hari. Ia pikul kayunya itu, kadang-kadang ia tidak tahu bahwa didalamnya ada ular yang akan mematuknya.

Dan Imam al-Syafi’iy pernah berkata: (Ibid. h. 114.)

عنٍ الإمام الشافعي رحمه الله أنه قال: إذاوَجدْ تُم فى كتابى خلاَفَ سُنّة رسول الله صلىالله عليه وسلم فقولوا بسنة رسولِ الله صلى الله عليه وسلموَدَعُوا قَولِى. وَرُوِيَ عَنْهُ: إذا صَحَّ الحَديثُ خِلافَ قَولِى فَاعْمَلُوا بالحديث واتْرُكُوا قُولِى أوقال فهومَذْهَبِى.

Artinya: Dari imam al-Syafi’iy Rhl., beliau berkata: apabila kamu berjumpa dalam kitabku yang berlawanan dengan Sunnah Rasul maka tinggalkanlah kitabku itu, dan berfatwalah apa yang sesuai dengan Sunnah Rasul. Dan pula diriwayatkan dari Imam al-Syafi’iy juga, beliau berkata: apabila ada hadits yang sahih yang maksudnya bertentangan dengan fatwaku maka beramalah engkau dengan dasar hadits itu dan tinggalkanlah perkataanku, atau satu kali beliau berkata: “itulah madzhabku”.

Muhammad Nasruddin al-Albani dalam karya beliau: Shifatu Shalaati an-Nabyyi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallama min Takbiiri ilaa at-Tsliimi Ka-annaka Taraaha, dalam pendahuluan edisi pertamanya memuat 10 pernyataan Imam al-Syafi’I dan pernyataan imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Hambali agar mengikuti Sunnah dan melarang untuk Taqlid. Salah satu perkataan imam al-Syafi’I adalah “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku”.

Berbeda dengan Taqlid, istilah Ittiba’ atau Muttabi’, yaitu orang yang mampu menghasilkan pendapat, namun dengan cara mengikuti pendapat atau cara-cara yang telah dirintis oleh ulama sebelumnya (Amir Syarifuddin, Op Cit., h. 410 ), Untuk sampai pada tingkat ini, penguasaan bahasa Arab dan Ilmunya, hafal al-Qur’an dan ilmunya dan hafal Hadits dan ilmunya serta menguasai warisan intelektual sang Imam serta paham dengan persoalan kekinian zaman melalui penguasaan beberapa ilmu-ilmu kontenporer mutlak dibutuhkan. Karena akan sulit menghasilkan pendapat tanpa penguasaan bidang-bidang ilmu tersebut walau sebatas mengikuti pendapat Imam madzhab.

Yang termasuk golongan ini (Muttabi’) adalah:

1.Mujtahid Muntasib yaituIjtihad-nya dihubungkan kepada Mujtahid yang lain(Ibid., h. 275),

2.Mujtahid madzhab yaituMujtahid yang mengikuti Imam Madzhab tempat ia bernaung, baik ilmu Ushul maupun dalam furu’, (Ibid.),

3.Mujtahid Murajjih yaitu: Mujtahid yang berusaha menggali dan mengenal hokum furu’namun dia tidak sampai mengistinbatkan sendiri hokum dari dalil Syar’i maupun dari Nash Imamnya. (Ibid., h. 276).

4.Mujtahid-mujtahid Muwazin Yaitu ulama yang tidak mempunyai kemampuan untuk men-tarjih diantara beberapa pendapat Madzhab, tetapi hanya sekedar membanding-bandingkan pendapat dalam Madzhab kemudian berdalil dengan apa yang dianggapnya lebih tepat untuk diamalkan. (Ibid) Salam Madzkur menempatkan mujtahid ini kepada muqallid (Ibid, h. 277).

3.Sekilas tentang Imam al-Syafi’i (150 H/767 M- 204 H/819 M)

Nama lengkap beliau adalah Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas ibn ‘Usman ibn Syafi’ ibn Saib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ‘Abd al-Muthallib ibn ‘abd Manaf ibn Ma’n ibn Kilab ibn Murrah ibn Luai ibn Ghalib ibn Fahr ibn Malik ibn al-Nadhar ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn al-Nadhar ibn Nazar ibn Ma’d ibn ‘Adnan ibn Add ibn addad. Pada kakeknya ‘abd Manaf, silsilah keturunannya menyatu dengan silsilah keturunan nabi Muhammad Rasulullah Saw (Edi Safri, Op cit,h. 18-22).

Di Mekah, al-Syafi’I menggunakan usia kecilnya untuk mempelajari pengetahuan dasar seperti membaca, menulis, menghafal al-Qur’an dan Hadits.Pada usia 7 th beliau sudah mampu menghafal al-Qur’an, dan dalam usia 10 th beliau mampu menghafal kitab al-Muwaththa’ Imam Malik.

Bahasa dan sastera dipelajarinya kepada Huzail, tokoh sastrawan arab terkenal di suatu desa di luar kota Mekah, al-Syafi’I dikemudian hari dapat tampil sebagai seorang sastrawan besar dan diakui. Setelah belajar dengan Huzail, al-Syafi’I kembali ke Mekah dan selanjutnya belajar fiqh pada muslim ibn Khalid al-Zanjiy, beliau ini adalah mufti Meka terkenal(Ibid).

Berkat kemampuannya yang tinggi dalam menyerap ilmu guru serta keluasan ilmu yang sudah dimilikinya, menjadikan al-Zanjiy merasa al-Syafi’I pantas diberi wewenang untuk berfatwa. Al-Asyafi’I juga belajar Tasir (ilmu-ilmu al-Qur’an) pada murid-murid Ibn Abbas, seperti Sufyan ibn ‘Uyaynah, Sa’id ibn Salim, Dawud ibn ‘Abd al-Rahman al-‘athar dan lainnya(Ibid,. h. 18-22).

Dari Mekah, kemudian al-Syafi’I melanjutkan pengembaraan ilmiah ke Madinah, terutama untuk belajar pada Imam Malik yang terkenal sebagai tokoh hadits dan ahli fiqh. Setelah Imam Malik meninggal, al-Syafi’I pergi ke Yaman.Selama di Yaman, disamping diangkat menjadi aparatur pemerintahan, beliau juga menggunakan kesempatan untuk belajar kepada sejumlah ulama terkenal. Diantaranya mempelajari fiqh Mu’adz lewat muridnya Mutharraf ibn Mazin, dan lainnya(Ibid,. h. 22).

Setelah kurang lebih 5 tahun di Yaman, al-Syafi’I kemudian pergi ke Irak. Disini beliau meluaskan pengetahuan lagi dengan mempelajari fiqh Irak melalui murid Imam Abu Hanifah yang paling menonjol, yaitu Muhammad al-Hasan al-Syaibaniy(Ibid,. h. 23).

Imam Al-Syafi’i terkenal dengan gelar (Nashirul Hadits), seperti dikatakan oleh Muhammad Abu Zahw, bahwa jika para ulama dari kalangan ahli Fiqh dan Ushulmemandang al-Syafi’I sebagai “Mujtahid agung, Imam Mazhab” dan peletak dasar bagi perumusan perumusan tertulis Ilmu Ushul Fiqh, ulama hadits pun cukup alasan untuk menempatkan al-Syafi’I sebagai tokoh perintis bagi perumusan tertulis kaidah-kaidah pokok Ilmu Hadits.

Kita kagum dengan jalan hidup yang beliau tempuh dan perjuangan beliau dalam menegakkan agama Allah. Betapa banyak para ulama terinspirasi dan mengikuti langkah beliau dalam menuntut ilmu, hingga pujianpun terus mengalir lewat goresan pena ilmuan yang mengkaji sejarah dan warisan intelektual beliau.

Sangat disayangkan, kebanyakan orang-orang yang mengaku bermadzhab al-Syafi’I tidak begitu mengenal pribadi dan semangat ilmiah sang Imam secara baik, apalagi mempelajari warisan intelektual beliau secara keseluruhan. Kecuali sebatas sanjungan berlebihan dalam kapasitas beliau sebagai Imam besar Mazhab Fiqh. Akibatnya, para pengagum tokoh besar ini pun akhirnya terjebak dalam hadits-hadits dha’if dan maudhu’ hingga masuk lobang perangkap bid’ah dhalalah.Jelas sangat bertentangan dengan semangat ilmiah Imam al-Syafi’iy yang terkenal selektif dalam mengambil hadits dengan kriteria yang sangat ketat.

Keadaan ini dapat kita lihat betapa banyaknya yang mengaku bermadzhab al-Syafi’I, mengamalkan hadits-hadits Dha’if danhadits-hadits Maudhu’ terutama bagi yang menempuh jalan sufi atau Tariqat sufi. Bahkan di beberapa pesantren yang mengaku bermadzhab al-Syafi’i kita temukan beberapa kitab yang memuat banyak hadits dha’if dan maudhu’ masuk dalam kurikulum pesantren. Tentu keadaan ini terlihat jelas bertentangan dengan semangat ilmiah imam Syafi’i.

Dalam persoalan perbedaan dalam tata cara ibadah misalnya, sering antara satu dengan lainnya terutama orang-orang yang tidak sealiran saling menyalahkan dan merasa paling benar. Masing-masing mereka membela pendapatnya dengan dalil yang dia miliki, padahal itu tidak perlu terjadi, karena imam al-Syafi’i telah memperkenalkan metode penyelesaiannya melalui karya beliau Ikhtilaf al-Hadits. Khusus untuk hadits-hadits ibadah yang tampak bertentangan atau berbeda dikenal dengan istilah hadits Tanawwu’ al-‘Ibadah, sedangkan selain hadits-hadits ibadah yang tampak bertentangan dikenal dengan Hadits Mukhtalif(Ibid., h. 67-68).

Yang lebih bahaya lagi, sebahagian dari para mubalig tidak mengenal sebab terjadinya perbedaan yang timbul, apakah perbedaan itu disebabkan adanya hadits yang berbeda (Tanawwu’ al-‘Ibadah), atau perbedaan disebabkan pemahaman hasil ijtihad yang “benar” dari para ulama, atau perbedaan disebabkan hadits Dha’if, hadits Maudhu’ atau perkataan orang-orang bodoh. Akibatnya, umat dibuat bingung karena perbedaan itu, tidak mengerti bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan yang terjadi, yang mana perbedaan itu harus dihormati dan mana perbedaan itu harus ditinggalkan.

Langkah-langkah pendidikan yang ditempuh Imam al-Syafi’I seharusnya menjadi inspirasi bagi kita semua. Terlebih pesantren yang bermadzhabkan al-Syafi’I. Seperti kita ketahui beberapa pesantren yang hanya mencukupkan kurikulumnyasebatas kitab kuning terutama kitab yang tidak memuat dasar atau dalil nash, agaknya hal ini perlu dipertimbangkan untuk memperkenalkan dasar nash al-|Qur’an dan hadits berdasarkan bab-bab yang dipelajari. Begitu juga metode penyelesaian hadits yang telah diperkenalkan imam al-Syafi’I serta ilmu hadits yang lainnya. Sehingga diharapkan santri tidak hanya mampu dalam penguasaan ilmu fiqh saja tetapi juga kepahaman dan kemampuan mempertanggungjawabkan ilmu tersebut berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, sehingga tidak terperangkap dalam perangkap Taqlid.

4.Kesimpulan

Bermadzhab al-Syafi’I artinya menjadikan sang imam sebagai tokoh inspiratif dalam mengarungi samudra ilmu serta mengikuti semangat ilmiah beliau dalam mensortir berbagai landasan pemahaman yang beredar ditengah-tengah umat islam. bukan sekedar menjaga warisan intelektual dan mengikuti pendapat-pendapat sang Imam tanpa mengenal dalil yang menjadi sandaran pendapat tersebut atau Taqlid. Karena ini sangat bertentangan dengan semangat dan jejak pertualangan ilmiah yang beliau contohkan.

Imam al-Syafi’I terkenal dengan ketelitian beliau dan sangat selektif dalam mengambil hadits. Artinya, orang-orang yang bermadzhab al-Syafi’I hanya menerima dalil-dalil Nash yang shahih dan menolak hadits-hadits Dha’if (lemah) dan Maudhu’ (palsu) dengan cerdas. Sangat aneh apabila orang-orang yang mengaku bermadzhab al-Syafi’I, tetapi dalil yg menjadi sandaran mereka kebanyakan adalah hadits- hadits Dha’if dan Maudhu’.

5.Penutup

Mudah-mudahan tulisan yang sederhana ini mampu membangkitkan gairah ilmiah setiap yang membacanya, terutama penulis sendiri. sehingga terbangun keberanian untuk jujur melihat kenyataan yang ada dalam memahami agama, lalu berusaha untuk menjadi yang lebih baik.

Tulisan ini merupakan kumpulan keresahan pribadi penulis yang membaur dalam derasnya gelombang ambisi yang tak terbendung untuk menawarkan perubahan kepada yang lebih baik hingga terbentuk pergumulan intelektual yg sebenarnya lemah dansarat subjektifitas penulis. Untuk itu, besar harapan penulis agar siapa saja yang membacanya tidak keberatan memberi kritik yang membangun. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita dalam mencapai Ridha-Nya. Amin

Wallahua’lam

REFERENSI

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1999.

Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’iy: Metode Penyelesaian Hadits-Hadits Mukhtalif, IAIN Press Imam Bonjol, 1999

Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shifatu Shalati an-Nabiyyi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallama min at-Takbir ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa. Dan lihat edisi indonesianya berjudul: Sifat Shalat Nabi, terj. Muhammad Thalib, Jogjakarta: Media Hidayah, 2000

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung; Mizan, 2007

Sirajuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Madzhab Syafi’I. Jakarta: Pustaka Tarbiyah…

Wahbah zuhaili. A-Qur’an: paradigma hokum dan peradaban (Al- Qur’an al-Karim: Bunyatuhu at-Tasyri’iyat wa khashaaisuhuhu al-Hadhariyat). Terj. M. Luqman Hakim dan M. Fu’ad Hariri. Surabaya; Risalah Gusti, 1995

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun