Mohon tunggu...
Nofi Ndruru
Nofi Ndruru Mohon Tunggu... Guru - Hidup harus berjalan

traveller, writer, teacher

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seni: Ilmu dalam Garis

23 Agustus 2017   16:45 Diperbarui: 23 Agustus 2017   16:50 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sketsa: Gunung Batu dan penjelasannya oleh Budi Brahmantyo

Seni merupakan satu kata yang bermakna tidak terbatas. Seni dapat dilakukan oleh siapa saja, dengan apa saja, dimana saja dan dalam waktu kapan pun. Hal tersebutlah yang saya temui ketika sedang melakukan kegiatan trekking. Saya suka melakukan perjalanan yang kemudian mempertemukan saya dengan satu komunitas dimana orang-orang berkumpul dari berbagai kalangan umur untuk melakukan perjalanan bersama namun dengan sisipan ilmu pengetahuan dari seorang ahlinya yang disebut dengan interpreteur (yang bertugas menginterpretasikan objek-objek yang terlihat di depan mereka). Uniknya, ketika sedang melakukan interpretasi objek, sang ahli menjelaskannya dengan seni dari goresan-goresan pensil pada kertas putih yang telah dipersiapkannya dari rumah.

Budi Brahmantyo namanya, beliau merupakan geolog yang sering menjadi interpreteur dalam kegiatan edu-tourism yang diadakan oleh salah satu komunitas. Beliau menjadi disenangi oleh partisipan kegiatan yang berjenis geotrek (geo: bumi, trek: track, gerakan perpindahan) tersebut karena setiap melakukan penjelasan yang berbau geologi (ilmu kebumian), beliau akan menyampaikannya dengan cara yang menarik melalui coretan-coretan seni pada kertas putih tersebut sehingga masyarakat umum mengerti. Misalnya saja ketika menjelaskan patahan lembang di Bandung seperti gambar berikut, di lapangan beliau menjelaskan arah gerakan, panjang termasuk potensi bencananya, daerah mana yang akan mengalami kerusakan paling parah ketika patahan tersebut bergerak massive.

Menurut beliau, sketsa geologi adalah gambaran ide (gagasan) tentang aspek geologi yang diamati di lapangan, termasuk interpretasinya. Sketsa harus dibuat "live" di lapangan. Foto tidak dapat menggantikan sketsa karena dalam sketsa ada poses berpikir dan penuangan hasil pikir itu dalam coretan; dan pengalaman itu tidak ada saat kita menjepretkan kamera.

Dari cara beliau, kemudian beberapa peserta geotrek tersebut mengadopsinya dan menjadi motivasi untuk lebih mengaplikasikan seni dalam perjalanan mereka. Perlahan goresan pensil mulai menggeser peranan kamera dan menjadi pemeran utama dalam setiap perjalanan. Dengan bangga hasil karya kemudian dipertontonkan di akhir kegiatan yang tentunya mendapat respon positif dari peserta lainnya.

Gambar: Tebing Hawu karya Budi Brahmantyo
Gambar: Tebing Hawu karya Budi Brahmantyo
Lebih unik lagi tak hanya pensil dan kertas yang digunakan sebagai media untuk mentransfer ilmu dan juga sebagai media dokumentasi, interpreteur lainnya yaitu Titi Bachtiar seorang Geograf yang akrab disapa Kang Bach menggunakan apa saja yang tersedia di lapangan untuk menjadi media seperti pada gambar berikut. 

arsip
arsip
Garis-garis yang mereka goreskan tersebutlah yang menjadi media penjelas bagi penggiat geotrek. Namun, dimata para penggiat, kedua interpreteur tersebut bukan hanya ahli dalam bidang Geologi dan Geografi tetapi juga merupakan seorang seniman outdoor. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun