Mohon tunggu...
Nofia Fitri
Nofia Fitri Mohon Tunggu... Administrasi - Political Researcher

Doctoral Student of Political Science at the University of Indonesia; Civic Lecturer at Poltekkes Jakarta III; Manager Program of an NGO Aliansi Kebangsaan. An owner of a Big Data Company, Warung Data Indonesia, and a Digital Politics platform Exploiticha.id (Exploration on Global Politics, Computer Technology, and Ethical). My research interest is in the areas of Digital Politics, Global Politics, and Political Ideology.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi “Asisten Dosen” di Kampus Luar Negeri

6 November 2014   19:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:28 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ini adalah sepenggal kisahku, ketika menjadi asisten dosen di luar negeri. Setelah menceritakan bagaimana bisa sekolah di Turki, aku pun ingin berbagi kisahku menjadi Asisten Dosen  untuk kelas Pengantar Politik Global. Semoga bermanfaat untuk kita semua kawan-kawan pembaca.. :)




Jangan takut untukmenjadi “extra-ordinary” karena keluarbiasaan hanyalah sesuatu yang diciptakan dengan melakukan hal-hal yang tidakbiasa.” (Nofia, Spring 2010, Turki).

Total ada limabelas pelamar, yang akan diterima hanya tiga, duabelas harus tereliminasi. “Oh my God”, desisku agak cemas. Kompetisi yang sangat sulit untuk kelas internasional. Lima pelamar, mahasiswa asli Nigeria dengan bahasa Inggris sempurna dan GPA terakhir diatas rata-rata 3.5. Dua Pelamar asal Iran yang datang dari jurusan Pendidikan bahasa Inggris dan Psikologi. Satu pelamar dari Azarbaijan yang jelas bermodal bahasa Turki dan Rusia. Tiga yang lain Cypriot yang Bachelornya dari departmen yang sama dimana satu diantaranya menguasai bahasa Yunani dan satu yang lain Polski. Sisanya, satu Chadian berkemampuan bahasa Perancis dan Arab tidak lain adalah lulusan terbaik Undergraduate 2010, bersama dua Turkish yang duduk disemester pertama dimana satu diantaranya menghabiskan tiga tahun terakhir menetap di Jerman.

Terakhir, seorang berbahasa Inggris standar, yang masih harus mengecek ulang grammarnya setiapmembuat tugas kuliah, pernah kursus bahasa Arabdi Jakarta, namun hanya mengingat satu kalimat “ana tafham al-arabiya illa qalillan.” Hidupnya sama sekali tidak bersentuhan dengan bahasa Prancis, Polski, apalagi Yunani, hanya sedikit memahami bahasa Turki setelah tiga bulan belajar dari seorang balita dan tidak pernah menetap diluar negeri. Namun demikian, dua tahun pengalaman sebagai peneliti muda PSİK-Indonesia pimpinan Yudi Latif inilah yang mengantarkannya pada posisi aman pertama dan posisi aman kedua karena argumentasiberbedanya tentang “apa itu demokrasi?” bahwa “demokrasi mungkin tidak Ideal tapi dapat menjadi jalan untuk menuju Ideal itu sendiri.” Mereka meng-amin-i, hinggasatu penguji tak mampu menahan celetukkannyaooh Jesus we’ve got her, one extra-ordinary” satu Teaching Assistant baru dari Indonesia.

Selama studi master ku di Turki saat-saat ketika mengikuti seleksi untuk Assisten Pengajar adalah pengalaman paling berharga yang kemudian mengantarku menjadi tutor untuk Mata Kuliah “Introduction to Global Politics.”

Selain sangat dipengaruhi oleh background kehidupan yang kita ciptakan dan takdir gariskan, percayalah bahwa ada satu hal yang mampu mengantar kita pada kesukseskan. Jadilah seseorang yang berbeda, apapun model seleksi yang akan kamu lewati, pastikan para penguji menemukan sesuatu yang tidak dimiliki pelamar lain. Pengalaman hidup, wacana luas, serta kepribadian membentuk persepsi orang tentang kita. Selain itu dalam proses seleksi emosi dan aura akan sangat mempengaruhi penilaian para penguji, karenanya berusahalah menguji diri sendiri sebelum diuji orang lain.

Kelas Tutorial Sang Asisten Dosen

Subjeknya sederhana, yaitu belajar mengenal fenomena politik dunia. Introduction to Global Politics, adalah kelas tutorialku untuk mahasiswa semester pertama selaku teaching asistant di EMU. Hari pertama kupersiapkan dengan sempurna, dari slide power point sampai modul kuliah yang diperlukan mahasiswa. Wajahku berseri-seri walaupun agak sedikit nerveous, untuk pertama kalinya memberi materi berbahasa Inggris dimana audiensinya adalah mahasiswa yang datang dari berbagai belahan dunia.

Mahasiswa-mahasiswiku diantaranya Turkish, Cypriot, Nigerian, Kazaksthanian, Azarbaijan, Palestinian, Chadian, Irak, Iranian, dan Syrian. Luar biasa mereka datang dari sejarah yang terbentuk oleh penjajahan, diaspora dan negara yang terpecah-pecah. Cyprus misalnya yang memiliki masalah laten antara Turkish Cypriot di utara dan Greek-Cypriot di selatan-, Kazakthanian dan Azarbaizan adalah dua dari duabelas negara pecahan the Great Power Uni Soviet, memiliki tiga bahasa negara termasuk bahasa Rusia walaupun karakternya mereka dengan si asli Rusian sungguh sangat berbeda. Yang terunik tentu saja mahasiswa asal Palestina, sebuah sejarah tentang kolonialisasi tersukses didunia, sebuah fenomena kekal yang memperlihatkan PBB dan OKI hanya macan ompong dan negara-negara besar yang teriak soal HAM dan keadilan seperti memucikari diri mereka sendiri.

“I am not a Muslim” pernyataan parau salahsatu mahasiswa Palestina yang pagi itu ingin mengawali kelas tutorial dengan opini tentang konflik dinegaranya. Sementara satu teriakan bernada  bingung terlontar dari sudut kelas “Isn’t he a Jew?”. Aku memperhatikan mahasiswa Palestina ku, bagaimana nada yang terlontar adalah luapan kekecewaan, sebuah penginkaran yang datang dari sipengutuk sejarah, seolahia berteriak “agama hanya membentuk realitas bodoh bagiku yang terlahir sebagai Palestinian.” Konflik panjang itu menghancurkan krisis kepercayaan, bahkan generasi mudanya pun merasa tidak ada penyelesaian untuk Palestina sampai Israel melahap habis tanah mereka. Apakah benar istilah the Promise Land dan bagaimana gerakan Intifada menjadi iconpenting generasi muda Palestina adalah konflik agama? Aku belajar tentang bagaimana konflik Palestina, Zionism, Intifada semenjak aku duduk dibangku SMA dan terusterang semua itu pun belum mampu menjawab pertanyaan tentang konflik apa yang sedang terjadi disana. Sampai akhirnya aku tersenyum dan berkata: “Islam tidak menginginkan pertentangan dan Agama sesungguhnya adalah menciptakan damai di bumi. Islam adalah “Rahmatan Lil Alamin” termasuk rahmat untuk Kristen dan Yahudi” kataku sebelum memulai tutorial kuliah hari itu, dan kusaksikan ekspresi mahasiswa yang dingin menatapku. “I am ready for more discussion guys” kataku.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun