Syair Harmony
Dalam goresan syair harmony,
kau meninggalkan pertanda tentang datangnya takdir kehidupan.
(Harmony, 2 September 2008)
Sebuah lambaian tangan menandai perpisahan yang ditutup dengan tetes air mata di pipi Harmony. Hal ini bukan akhir dari segalanya, Harmony berusaha menghibur dirinya. Dia hanya sementara waktu tak kuasa untuk menahan kesedihan akan kebahagiaan sesaat yang dirasakannya bersama Radian. Kelak sulit untuk bisa menyentuh dan memandang mata indah itu, semua hanya mungkin dengan media dan kekuatan khayal, Harmony memikirkannya dan membuatnya nyaris tak mengatakan ‘iya’ saat Radian mengungkapkan keinginannya.
Seperti dikatakan Radian, ”jika mendalami sastra kulakukan ditempat yang tepat, maka aku akan menciptakan karya yang bernilai. Kepergianku ke Teheran, untuk mempelajari sastra Persia, adalah mimpi terpendam yang harus diwujudkan”. Harmony berupaya mengungkap ke-ego-an nya dengan alih jauhnya Teheran, dan mungkin masih banyak tempat yang bisa menjadi pilihan untuk mendalami sastra, tanpa harus melintasi lautan. Tapi mimpi adalah mimpi, sesuatu yang harus dikejar dan diwujudkan. Rasa cintanya yang paling tidak didasari kesucian hati tak pelak membantah keinginan Radian menggapai mimpinya.
Pesawat yang membawa Radian lenyap dalam pandangan sayu Harmony. Seperti ucapannya, Radian akan menelepon saat transit di Malaysia. Lalu mungkin akan kembali menelepon setelah Teheran menyambutnya. Kalau bukan karena Masterpiece Sadeq Hidayat yang membawanya pada keinginan untuk menciptakan karya lebih dari goresan The Blind Owl, mungkin tidak akan sampai Radian berfikir untuk meninggalkan Jakarta. Kalau bukan karena ambisi mensejajarkan diri dengan Poe, atau sebatas menjadi seperti Lovecraft, Harmony yakin tidak akan merasakan hampa yang menyita kefasihan berfikirnya saat ini.
Hamony terus memandangi telepon genggamnya. Matanya bahkan tak menyingkir, dan fikirannya penuh dengan keinginan terlebih dahulu memencet nomor Radian dari telepon genggamnya. Sepanjang perjalanan Bandara Soekarno Hatta hingga Bekasi tempat tinggalnya, Harmony hanya memperhatikan telepon genggamnya hingga fikirannya mulai melalang buana dari Pajero hitam yang membawanya. Suara Pak Kendil menyentakkan Harmony.
“Neng, handponenya kedip-kedip”. Ucap pak Kendil. Ia melirik dari spion depan dengan tetap menjaga keseimbangan kemudinya.
”Iya pak”. Harmony menyadari lamunan kosongnya. Dilihatnya layar telepon genggam yang tererat dalam kuat jari-jari kecilnya.
”Mami” bisik Harmony.