Mohon tunggu...
Nofelianti
Nofelianti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Utang Negara, Modernisasi, dan Kaum Marjinal: “Pemiskinan dan Ketidakberdayan Sumber Daya Manusia”

12 Januari 2016   09:04 Diperbarui: 12 Januari 2016   09:20 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa telah berkontribusi dalam proses modernisasi yang tengah terjadi. Modernisasi dapat dipahami sebagai proses perubahan dari cara tradisional ke cara yang lebih modern dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat. Modernisasi berhubungan juga dengan globalisasi. Globalisasi merupakan suatu proses modernisasi yang mendunia. Modernisasi yang kian eksis dalam kehidupan bernegara nampaknya kini memberikan berbagai dampak positif maupun negatif. Modernisasi akan membawa berbagai perubahan yang cukup signifikan dari berbagai aspek dan bidang kehidupan. Pada tulisan kali ini saya mencoba membahas dampak negatif dari modernisasi di Indonesia yang kerap berhubungan dengan meningkatnya jumlah kaum marjinal. Indonesia yang selalu mengikuti arus modernisasi tersebut kerap memilih untuk berhutang kepada pihak luar ataupun kepada bank dunia untuk membangun berbagai sarana dan prasarana yang menunjang kehidupan masyarakatnya. Total utang pemerintah pusat berdasarkan statistik Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan akan mencapai 2.864 triliun pada penghujung tahun 2015. Dikutip dari situs resmi DJPPR ledakan terbesar bom utang Indonesia diprediksi akan terjadi dalam delapan tahun mendatang atau pada 2024, di mana nilai utang yang harus dibayar pemerintah pada saat itu akan mencapai Rp 240 triliun (djppr.kemenkeu.go.id). Jelas utang yang dimiliki Indonesia mengalami kenaikan, dari adanya kenaikan utang tersebut akan berdampak pada kesejahteraan rakyatnya pada saat ini.

Utang negara yang dilakukan tersebut guna menunjang berbagai program yang dilakukan pemerintah dalam memfasilitasi aspek vital kehidupan. Indonesia telah banyak berhutang kepada negara Jepang dalam hal ini, yaitu utang untuk pembangunan MRT (Mass Rapid Transit) yang pembangunannya tengah berlangsung hingga sekarang. Belum rampung dengan pembangunan MRT tersebut, Indonesia sekarang berutang lagi dalam proyek pembangunan kereta cepat Bandung- Jakarta yang ditaksir membutuhkan dana sekitar 5,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp70 triliun kepada Tiongkok. Ditambah lagi utang kepada Jepang setelah Presiden Jokowi berkunjung kesana untuk pembangunan kereta cepat juga. Persetujuan pembangunan proyek kereta cepat ini justru malah mengundang banyak kritik dan tanya tanya besar. Karena, kereta cepat Bandung- Jakarta tersebut bukan merupakan kebutuhan mendesak. Masih banyak pembiayaan lain yang dapat dialokasikan oleh pemerintah dalam rangka kesejahteraan rakyatnya khususnya masyarakat terpinggir atau kaum marjinal. Pembangunan dalam rangka modernisasi tersebut jelas menyingkap permasalahan yaitu sebagai kebutuhan atau hanya pencitraan dan permainan mafia-mafia semata.

Utang negara yang kian membumbung tinggi merupakan arus dari adanya modernisasi dan globalisasi. Hasil dari permasalahan tersebut akan membuat efek tetesan ke tahap yang lebih kecil yaitu pada kaum marjinal sebagai dampak dari modernisasi yang tidak tepat tersebut. Kaum marjinal merupakan perpaduan dari modernisasi dan tingginya utang negara. Hal ini dapat kita lihat melalui berbagai pembangunan perusahaan, pembangunan gedung-gedung, jalan layang, serta pusat perbelanjaan. Dimana-mana berhektar-hektar tanah digunakan untuk kepentingan industrialisasi dan kapitalisme. Efek yang timbul adalah kepada masyarakat yang tidak memiliki kapabilitas yang tinggi serta tidak berdaya dan tidak dapat mengikuti arus modernisasi yang ada, masyarakat tersebut akan terpinggirkan atau terekslusi dari lingkungan tempat tinggalnya sendiri. Padahal kaum marjinal tinggal masih dalam pusat kota, tetapi mereka ibarat sampah yang cenderung terabaikan.

Sumber daya manusia kita tidak diimbangi dengan pendidikan ataupun skill maupun keterampilan yang mumpuni. Keadaan tersebut diperparah dengan ketidakmampuan masyarakatnya yang tidak memiliki inovasi dan usaha untuk mengikuti tuntutan zaman yang serba berbasis teknologi kini. Kaum marjinal tersebut sudah jelas terkungkung dalam satu permasalahan sosial yang tidak asing lagi disebut dengan “kemiskinan”. Dari dampak modernisasi, kaum marjinal akan mengarah pada keterbatasan untuk mengakses jaringan yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan produktivitas. Kaum elit sebagai pemegang kekuasaan dan pemilik modal melalui berbagai kewenangannya akan memperkaya diri mereka sendiri dan membuat kaum marjinal yang sudah miskin semakin miskin tak berdaya. Bahkan, dari utang-utang negara tersebut di dalamnya terjadi permainan uang oleh mafia-mafia kelas kakap beratas namakan demi kepentingan negara.

Amartya Sen menyatakan bahwa, kemiskinan terjadi akibat perampasan kapabilitas/ capability deprivation (kebebasan untuk mencapai sesuatu dalam hidup seseorang).  Dalam hal ini, ketidakbebasan masyarakat yang subtansif itu berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomiKemiskinan telah menjadikan rakyat tidak bisa terhindar dari kelaparan, mendapatkan nutrisi yang cukup, memperoleh obat bagi yang sakit, serta tidak dapat menikmati air bersih dan fasilitas sanitasi.  Hal demikian menunjukkan bahwa kegagalan pemberdayaan kaum miskin disebabkan oleh perilaku pemimpin atau pemerintah yang tidak menjalankan kehidupan demokrasi secara substantif.

Pemerintah yang notabene nya merupakan wakil rakyat harus mampu mengayomi rakyat kecil apalagi kaum marjinal dalam khususnya demi terciptanya negara Indonesia yang stabil dan jauh dari kemiskinan. Dalam tujuan pembangunan nasional, seharusnya pembuat kebijakan harus menyamaratakan kesempatan untuk saling bersaing. Jangan hanya kaum yang memiliki relasi tertentu yang dapat menikmati posisi penting dalam kenegaraan. Tetapi, proses kemiskinan yang terjadi di Indonesia merupakan kemiskinan struktural yang terjadi karena kebijakan dari pemerintah itu sendiri yang membuat masyarakatnya terpinggir dan jatuh miskin. Kemiskinan struktural ini selanjutnya memiliki efek domino yaitu membuat budaya miskin terus membudaya kepada kaum marjinal.

Demi mencapai tujuan bangsa yakni kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Indonesia harus memiliki sumber daya manusia yang mumpuni. Baik dalam sumber daya manusia sebagai pembuat kebijakan yaitu pemerintahannya, dan sumber daya manusia yang menjadi rakyat biasa. Untuk menciptakan sumber daya yang berkualitas tersebut diperlukannya capacity building. Capacity building merupakan suatu pendekatan pembangunan untuk membuat suatu masyarakat dalam lingkungan menjadi berdaya dan memiliki kapasitas dan berlangsung secara berkesinambungan. Capacity building merupakan respon dari proses multidimesi perubahan yang terjadi. Kaum marjinal sebagai kaum yang terpinggirkan ini memerlukan penanaman capacity building dalam dirinya. Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai suatu lembaga yang concern terhadap hal ini, harus memiliki kepekaan sosial dan fokus yang besar terhadap meningkatnya kaum marjinal yang merupakan dampak dari modernisasi.

Selain Lembaga Swadaya Masyarakat, diperlukan juga peran dari pemerintah maupun lembaga donor serta partisipasi dari masyarakat. Melihat dinamika yang terjadi pada keberadaan kaum marjinal, peran pemerintah rasanya hanya sebuah ilusi untuk menghapus itu semua. Semakin banyak pembangunan di Ibukota, semakin banyak utang negara, semakin banyak pula bermunculan kaum marjinal. Kaum elit dengan kaum marjinal ibarat air yang terkena minyak. Sama-sama dalam satu tempat, tetapi terpisahkan. Kaum marjinal mutlak bertahan dengan kondisi pelik yang menghampiri dirinya, sedangkan elit tetap berkuasa dalam rezim yang melindunginya.

Pembangunan manusia ini menjadi inti dari permasalahan di Indonesia menurut saya pribadi. Walaupun Indonesia kaya akan sumber daya alam tapi jika manusianya tidak dapat memanajemen kekayaannya sendiri bagaimana mungkin bisa terwujudnya pembangunan. Sumber daya manusia harus dapat mengolah sumber daya alam negaranya sendiri dengan baik dan sebaik-bijaknya. Akar permasalahan utama pada pembangunan manusia ini terletak pada akses dan kualitas. Kurangnya akses dari pemerintah memungkinkan terjadinya ketidaktahuan masyarakat yang tidak akan mendorong mobilitas vertikal. Sehingga kaum marjinal akan stuck pada kondisi seperti itu. Kemudian, akar permasalahan selanjutnya ada pada kualitas sumber daya manusia. Walaupun UUD 1945 menjamin hak warga negaranya tapi justru kaum marjinal tersebut diabaikan keberadaannya. Untuk itu diperlukan suatu strategi bagi kaum marjinal yang terlilit dalam jurang kemiskinan harus diberdayakan dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang meningkatkan kapabilitasnya.

Pendidikan menjadi momentum yang sangat penting guna mengangkat mobilitas kaum marjinal dari belenggu ketidakberdayaan. Harapan untuk pembangunan manusia di Indonesia yaitu agar Indonesia dapat meminimalisir kesenjangan yang terjadi dari berbagai penjelasan di atas agar pembangunan negara dapat terlaksana sesuai dengan tujuannya. Serta, harapan lain yaitu agar masyarakat Indonesia menjadi manusia yang mau belajar, mau berusaha, mau menerima kritikan dan mampu mengolah atau memanajemen semua bidang multidimensional dengan baik. Maka dari itu, semua stakeholders harus saling bekerja sama untuk kepentingan bangsa Indonesia. Strategi pengembangan masyarakat yang tepat harus dilakukan demi menciptakan kondisi yang diharapkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun