Mohon tunggu...
Junus Barathan.
Junus Barathan. Mohon Tunggu... Guru - Profesional.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Purna Tugas PNS Guru.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Aria Dwi Pangga

9 Juli 2019   22:36 Diperbarui: 9 Juli 2019   22:59 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:artstation.com/pinterest

Terkapar meregang nyawa mencoba menghadangnya. Pasti kan tewas dibabat habis di ujung pedangnya. Banjir darah di pelataran candi Kurawan. 

Aku datang dari balik kegelapan. Menabur dendam yang tak pernah padam. Sang rembulan malam meneteskan air mata. Nalih Ratih sang kekasih jadi rebutan. 

Aria Dwi Pangga, pendekar syair berdarah dari desa Kurawan. Pendekar pilih tanding yang merana hidupnya. Jiwa dan raga terganggu karena kasmaran. 

Asmara loka yang buta dan luka. Tertusuk syair-syair tajam menembus sukma. Kata-kata merayu penuh sanjungan. Terlena dan jatuh dalam pelukan.

Semua harus di akhiri. Satu diantara dua saudara sekandung harus binasa. Aria Dwi Pangga mulai membacakan syair berdarah jurus pamungkas andalan. 

Benturan keras terjadi. Suara dentuman bergemuruh debu-debu berterbangan.  Aria Dwi Pangga terkapar bersimbah darah terkena pukulan. 

Sementara, Aria Kamandanu berdiri tegap. Memandang tajam pada sang kakang yang terluka. Pedang "Naga Puspa" masih erat dalam genggaman. 

Singosari, 9 Juli 2019

@J.Barathan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun