Ilustrasi - Petugas menguji coba penggunaan mesin pembaca chip e-KTP (card reader) di Kementerian Dalam Negeri
(KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)
Tulisan ini bersifat catatan saja, bukan mengeluh juga bukan menyudutkan pihak manapun. Tulisan ini saya tulis berdasarkan pengalaman saya membuat KTP. Kabarnya sekarang sudah memakai sistem online. Akan tetapi dibandingkan dengan sistem manual jaman dahulu kala ketika saya masih imut, pelayanannya lebih cepat jaman dahulu kala.
Hari Senin, 1 Juni 2015 saya bermaksud untuk mencari KTP baru. Kebetulan beberapa hari sebelumnya KTP elektronik saya hilang. Saya kehilangan KTP di seputar Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar sampai rumah. Setelah melaporkan kehilangan KTP di kantor polisi dan diberi surat sakti saya melanjutkan ke tahap berikutnya. Saya mencari surat pengantar pembuatan KTP baru dari RT, dan disahkan di Kalurahan lalu Kecamatan.
Ada sesuatu yang perlu saya tulis. Semoga pengalaman ini hanya terjadi pada diri saya, bukan orang lain. Biarlah saya mengalami ketidaknyamanan ini. Kelak jangan terjadi pada keluarga saya.
Setelah mendapatkan tanda tangan dari Kepala desa, saya melanjutkan ke kecamatan. Di kecamatan ternyata antriannya panjang dan tidak memakai nomer antri. Meskipun yang mengantri orang-orang dewasa, tetap saja tidak semua sadar tertib. Uyuk-uyukan, saling berebut, ingin dilayani sesegera mungkin. Tapi saya beruntung di sini. Kebetulan saya memakai seragam dinas, sikap manis saya dalam mengantri membuat saya menangkap peluang terhadap sesuatu yang bisa saya tulis.
Seorang ibu mau mencari KTP, karena KTP-nya hilang. Dia sudah bilang KTP-nya hilang dan ada surat sakti dari kantor polisi.
“Ibu mau cari KTP ya. KTP yang lama mana Bu?”
“Hilang.”
“Kalau hilang, ya cari surat kehilangan dulu.”
“La itu ada semua Bu.”