“Bonus kehadiran per hari tiga ribu rupiah biarlah hilang, yang penting saya bisa membagi waktu dengan pekerjaan rumah.
Pak, panjenengan juga tahu. Saya bukan PNS, saya hanya guru tidak tetap yang tidak memiliki jabatan sama sekali. Dengan gaji per bulan hanya sekitar lima ratus ribu rupiah, saya harus masuk kerja dari jam tujuh kurang sampai jam setengah dua siang. Wah sepertinya saya tidak bisa. Yang logis saja Pak.”
“Semua nanti tergantung kasek, Bu.”
Ternyata orang yang ngeyel bukan hanya Mursalin, ada juga Pak Yanto. Malah Pak Yanto lebih keras lagi, katanya,
“Kalau aku dianggap tidak masuk karena presensi jam setengah delapan lebih, maka sekalian aku tidak mengajar.”
Lain lagi dengan Pak Dian yang statusnya bukan PNS, malah dia tidak pernah presensi sidik jari. Ternyata guru-guru lainnya juga tidak setuju dengan presensi sidik jari.
Pak Dian bahkan sengaja setiap hari tidak presensi padahal masuk mengajar. Apakah itu juga dianggap tidak masuk?
00000
Kepala Pak Heru cenut-cenut, heran dengan guru-guru dan karyawannya. Hampir 75% dari mereka tidak mau presensi dengan sidik jari. Maksud presensi dengan sidik jari supaya guru dan karyawan disiplin dalam masuk kerja. Kenyataannya malah begini.
Alat presensi sidik jari berada di atas meja di ruang TU. Setiap hari menyala. Setiap hari yang presensi hanya kasek dan Waka Kur. Alat itu tidak sampai 1 bulan ditinggalkan guru/karyawan karena dianggap tidak praktis, tidak luwes dan tidak berpihak pada guru model Mursalin.
Mursalin tersenyum. Dia tak perlu dukungan orang lain untuk menolak presensi dengan sidik jari. Entahlah, mengapa teman-teman tidak mau presensi. Padahal bila mau presensi sidik jari, pasti ada yang mengajak berkomunikasi dengannya yaitu alat sidik jari akan berbunyi,”terima kasih.” (SELESAI)