Saya termasuk perempuan yang tidak suka memakai sepatu atau sandal dengan hak tinggi. Saya lebih suka menggunakan sepatu/sandal “trepes” alias datar, tidak jenggel. Saya termasuk orang bertipe simple, praktis dan minimalis. Hampir semua sepatu dan sandal yang pernah saya miliki tidak berhak tinggi, bentuk sederhana. Tentu saja saya memiliki alasan.
Mengapa saya tidak suka memakai sepatu/sandal hak tinggi? Alasan saya adalah agar jalan saya tidak terganggu. Saya yang suka berjalan cepat jelas terganggu bila memakai sepatu/sandal berhak tinggi. Saya tidak akan nyaman memakai sepatu/sandal hak tinggi. Bahkan saudara-saudara perempuan saya juga tahu kalau sepatu/sandal yang saya gunakan tidak ada yang berhak tinggi.
Meskipun dalam keadaan terpaksa, kalau masih bisa ditoleransi, saya tetap tidak memakai sepatu/sandal hak tinggi. Saya memiliki seorang teman perempuan. Maaf, beliau tubuhnya termasuk mungil, tidak tinggi alias pendek. Teman saya suka memakai sepatu/sandal berhak tinggi. Kalau berjalan suara ketukan sepatunya terdengar thok thok. Teman-teman hapal sekali bila ada suara ketukan sepatu thok thok, pasti teman saya yang itu sedang berjalan. Kalau saya terbiasa berjalan tanpa suara ketukan sepatu.
Pada suatu hari hak sepatunya lepas. Praktis teman saya kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Teman-teman yang lain merasa kasihan. Saya juga menaruh kasihan pada teman saya. Akan tetapi saya sedikit tersenyum. Saya jadi ingat iklan permen rasa mint (ment*s). Dalam iklan tersebut perempuan yang hak sepatunya patah malah mematahkan hak sepatu lainnya. Percaya diri.
Kembali ke keadaan saya sendiri. Saya pernah mencoba memakai sepatu hak tinggi milik teman. Berjalan mondar-mandir di kantor, rasanya kaki sangat tersiksa. Kaki saya seolah ketarik. Itu hanya sebentar saja. Saya membayangkan apa jadinya bila saya harus berdamai dengan sepatu hak tinggi setiap hari? Bisa stress barangkali.
00000
Hari Minggu yang lalu, 2 Agustus 2015, saya mendapat tugas among tamu/menerima tamu di rumah tetangga saya yang memiliki hajatan mantu. Ketika itu tetangga yang lain bersepakat kami akan memakai kain kebaya dan berkerudung. Saya membayangkan lelah dulu. Pasti saya harus memakai sandal hak tinggi. Tidak mungkin dengan kain kebaya saya bersepatu vantofel (salah kostum ya).
Setelah memilih kain, kebaya dan kerudung yang pas paduan warnanya, mulailah saya memikirkan sandal yang harus saya kenakan. Mau tidak mau saya harus memakai sandal hak tinggi padahal saya tidak pernah memiliki. Mau meminjam ke tetangga atau saudara, saya merasa sungkan. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli sandal hak tinggi. Saya rela berkorban padahal saya tidak suka memakai sandal hak tinggi.
Jarak antara rumah saya dengan rumah tetangga tidak lebih dari 100 meter. Tapi berjalan saya tidak bisa cepat. Rasanya otot kaki ketarik. Sampai TKP sukses, tidak seperti iklan permen mint. Menerima tamu yang silih berganti, pasang muka senyum manis dan menyalami tamu. Sebentar duduk, sebentar berdiri lalu duduk lagi. Lelah benar kaki ini. Mungkin ceritanya akan lain bila sandal saya tingginya hanya 3 cm.
Alhamdulillah, tugas saya among tamu sukses. Setelah selesai, kami pun pulang. Dari rumah tetangga menuju rumah, saya ditinggal suami yang langkahnya panjang. Suami saya tersenyum. Seumur-umur baru hari itu dia melihat saya memakai sandal berhak tinggi. Ketika saya menikah dulu, sandalnya tidak berhak tinggi. “Sayang….. tunggulah daku.”
Beruntung kejadian ini tidak diabadikan putri saya yang suka usil memotret-motret. Tapi putri saya juga sempat meledek,”Hehe, mami lucu. Tidak patut pake sandal hak tinggi.” Sampai di depan rumah sandal saya lepas, saya cangking (saya bawa) lalu saya berjalan “cekeran” tanpa alas kaki.
Karanganyar, 4 Agustus 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H