Singkat cerita suamiku pulang dan barang-barang yang ada di kontrakannya diantar oleh pihak kantor. Pihak kantor mengucapkan terima kasih dan minta maaf kalau mereka memiliki kesalahan. Justeru aku yang minta maaf dan berterima kasih. Sekali lagi aku maklum, kejadian ini murni karena suamiku sakit. Tidak ada unsur yang lain.
Setelah di rumah, keponakanku bercerita sewaktu membereskan pakaian suami, dia menemukan obat-obatan dalam jumlah banyak. Ternyata oh ternyata, obat yang harganya mahal itu tidak diminum sama sekali. Pantas saja sakitnya tidak kunjung sembuh malah lebih parah.
Aku hanya bisa menanyai suami mengapa obatnya tidak diminum? Jawabnya obatnya terlalu banyak, aturan minumnya juga membuatnya bingung. Ada obat yang harus diminum berapa jam sebelum makan, ada yang sesudah makan dan jam sekian baru diminum.
“Bagaimana, mau sembuh kalau obatnya tidak diminum. Kita ke dokter lagi, untuk memastikan keadaanmu.”
00000
Setelah beberapa bulan istirahat di rumah dan berobat jalan, keadaan suami semakin parah. Bahkan kesabaranku benar-benar diuji. Untuk buang air saja suami sudah tidak pakai kebelet. Tahu-tahu ngompol atau buang air besar di celana. Akhirnya aku kenakan popok dewasa.
Selanjutnya suami aku bawa ke rumah sakit untuk opname. Karena suami masih mau makan seperti orang sehat, maka bisa dirawat di rumah. Di rumah kesadaran suami mulai membaik. Diajak komunikasi bisa menyambung. Sekarang keluhannya adalah semuanya menjadi gelap dan dia tak bisa melihat. Ya Tuhan.... suamiku tak bisa melihat.
Suami mengenali suara-suara siapa yang mengajak bicara. Dia “hanya” tak bisa melihat. Keluarga besar akhirnya sepakat untuk mengeluarkan cairan yang ada di kepala dengan menerima resiko yang bakal diterima.
Akhirnya dokter melakukan operasi pemasangan alat untuk mengeluarkan cairan dari kepala. Alat itu dipasang seumur hidup di dalam tubuhnya. Tapi dokter sudah angkat tangan untuk bagian matanya. Aku harus siap menerima dengan keadaan suamiku buta. Sungguh menyakitkan vonis itu. Aku dan keluargaku awalnya tak bisa menerima kenyataan bahwa suami buta di usia masih belia (empat puluhan tahun). Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi aku tak bisa. Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Manusia sekedar menjalani perannya. Sang sutradara telah menyiapkan skenarionya dengan indah.
Mungkin jalannya harus seperti ini. Setelah menjalani operasi dan kondisi tak bisa melihat sebelum operasi, kini suami tidak konek kalau diajak bicara. Bahkan denganku yang setiap hari mendampingi dan mengajak bicara, dia lupa. Suamiku amnesia. Lupa denganku, lupa dengan suaraku, lupa dengan suara kedua anakku. Ya Tuhan, kuatkan hati ini.
Hampir mendekati angka 100 juta rupiah biaya yang sudah aku keluarkan untuk pengobatan ini. Aku terus berharap Tuhan memberi jalan keluar terhadap kesulitanku. Untuk biaya hidup sehari-hari dan usaha pengobatan suami kami mengandalkan tabungan dan investasi yang masih ada.