Usaha yang dijalankan oleh alm. Bapak dan ibu mertua sejak tahun 80-an yaitu penyediakan peti mati dan perlengkapannya. Seperti kain mori, kapas, minyak wangi, sabun, sampo, kapur barus, kemenyan, lilin, benang, jarum, paku, keranjang bunga, kertas putih (untuk menghias keranjang), merah (untuk bendera tanda ada orang meninggal), nisan, kipas, kendi-anglo. Selain itu juga menyediakan air mineral 240 ml, permen, rokok dan sapu tangan.
Pertama kali peti mati datang dari pengrajin, tetangga bapak/ibu sempat kaget karena barusan adik ipar waktu itu masih batita masuk rumah sakit. Ternyata datangnya peti mati tidak ada hubungannya dengan sakitnya adik ipar.
Kebetulan di tempat tinggal mertua dan sekitarnya belum ada yang menyediakan perlengkapan semacam itu. Bisa dibilang usaha ini belum ada saingannya.
Akan tetapi, berbisnis peti mati memang harus sabar, siap stand-by 24 jam. Tahu sendiri bukan, orang meninggal tidak bisa diduga waktunya. Bisa pagi, siang, sore, tengah malam atau dini hari. Biasanya orang yang membeli peti mati sebagai orang suruhan personelnya itu-itu saja alias ajeg. Misalnya di dusun A yang biasa ditugasi membeli peti adalah Pak Bejo, di dusun B mungkin Mas Paijo dan seterusnya. Sampai-sampai bapak/ibu mertua hapal, kalau yang membeli peti Pak Bejo berarti yang meninggal orang dusun A.
Bapak/ibu mertua harus siap 24 jam. Saya pun pernah membantu mereka melayani pembeli peti mati dan perlengkapannya tengah malam. Yang lebih membuat bapak/ibu sabar adalah kadang-kadang pembeli tidak membawa uang sepeser pun. Mungkin ada orang yang mengeluh sudah malam-malam membangunkan orang tidur, e... masih ngutang lagi. Tapi ternyata bapak/ibu tidak pernah mengeluh. Syukurlah bisa membantu mereka itung-itung sedekah waktu, hehe.
Biasanya kalau ada yang membeli peti tetapi belum membawa uang, ahli waris dari orang yang meninggal dari golongan tidak mampu. Nanti bayarnya setelah membuka amplop sumbangan dari para pelayat.
Menurut cerita bapak/ibu mertua belum ada sejarahnya pembeli yang ngutang lalu ngemplang (nunda-nunda pembayaran sampai ditagih-tagih) bahkan melarikan diri tidak membayar. Semua membayar, hanya waktunya saja yang mundur.
Setelah bapak/ibu mertua meninggal, usaha ini dilanjutkan adik ipar. Sebelum adik ipar mewarisi usaha ini, dia dan isterinya membeli kotak peti yang belum diberi kain saten. Kemudian peti-peti itu dibungkus kain saten sedemikian rupa. Lalu dijual ke ibu mertua. Setelah ibu meninggal, adik ipar disetori oleh pengrajin siap jual. Ada peti berkain saten putih dan peti ukir-ukiran.
Pernah suatu saat, tahun 2006-an, saya juga ingin berbisnis peti mati dengan menyewa kios. Ternyata yang punya rumah (sudah tua, pernah sakit stroke) stress lalu jatuh sakit. Uang sewa yang sudah saya serahkan, oleh anaknya dikembalikan dan beliau minta maaf karena kiosnya tidak diijinkan bila untuk menjual peti mati. Haha, sampai sekarang saya sering tersenyum kalau ingat peristiwa tersebut.
Gagal menyewa kios, saya tidak menyerah begitu saja. Saya ingin membuka usaha ini di rumah. Ternyata ibu kandung saya menentang. Kalau saya bersikeras menjalaniusaha ini, artinya ibu sudah tidak mungkin mengunjungi saya dan menjenguk cucunya. Haha, ternyata ibu saya juga takut.
Namanya juga rejeki, sudah ada yang mengatur. Kadang seminggu, tidak ada penjualan peti mati. Tetapi di lain waktu, sehari bisa laku tiga buah peti. Pagi, siang atau malam bahkan kadang-kadang waktunya bersamaan.
Berbisnis peti mati rupanya masih menjanjikan, dan bisnis ini tidak pernah kena tipu (tidak seperti bisnis sembako). Siapa mau mencoba? Tapi pikirkan dulu masak-masak, soalnya tetangga kiri kanan mungkin ada yang tidak setuju (karena takut juga barangkali, hehe). (SELESAI)
Karanganyar, 16 Agustus 2013
Jangan menyerah untuk berwirausaha, AYO!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H