Di sebuah negeri yang katanya kaya akan sumber daya dan kecerdasan, kita menemukan fenomena yang semakin mencemaskan: kebodohan yang dinormalisasi, diterima, bahkan dirayakan. Fenomena ini tidak hanya terjadi karena keterbatasan akses terhadap pendidikan atau minimnya peluang berkembang, tetapi lebih karena sistem yang mengakomodasi, membiarkan, dan bahkan memfasilitasi kemalasan intelektual. Sosiologi melihat ini sebagai efek dari institusionalisasi budaya malas berpikir, di mana struktur sosial dan kebijakan publik tidak memberikan insentif bagi individu untuk berusaha lebih keras dalam meraih pencapaian akademik maupun intelektual.
Salah satu bukti paling mencolok dari fenomena ini adalah maraknya jasa joki akademik. Dari tugas kuliah hingga disertasi, semua bisa dikerjakan oleh pihak ketiga, selama ada uang yang cukup. Ini bukan hanya soal kecurangan akademik, tetapi juga menunjukkan adanya krisis moral dan hilangnya makna dari pendidikan itu sendiri. Dalam teori sosial, ini bisa dikaitkan dengan konsep anomie dari mile Durkheim, di mana norma dan nilai yang seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia akademik perlahan memudar karena sistem yang semakin permisif. Jika gelar akademik bisa diperoleh dengan cara instan, maka pendidikan hanya menjadi simbol kosong tanpa substansi.
Dari pendidikan dasar hingga menengah, kebodohan juga terus direproduksi. Anak-anak yang bahkan tak bisa membaca dan menulis tetap naik kelas karena sistem lebih peduli pada reputasi sekolah dan kelancaran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ketimbang kualitas pendidikan. Jean Piaget dalam psikologi perkembangan menekankan pentingnya tahapan kognitif dalam pembelajaran anak, di mana anak-anak perlu memahami konsep dasar sebelum bisa melangkah ke tahap yang lebih kompleks. Namun, dalam sistem pendidikan kita, tahapan ini kerap diabaikan demi menjaga citra institusi. Akibatnya, kita melahirkan generasi yang tidak memiliki fondasi berpikir yang kokoh, terbiasa dengan budaya instan, dan memiliki ketergantungan tinggi pada sistem yang membiarkan mereka tetap maju meskipun tanpa kompetensi yang memadai.
Di sisi lain, fanatisme agama juga semakin mencengkeram logika. Bukan dalam bentuk spiritualitas yang mendalam atau refleksi keimanan yang sejati, melainkan euforia yang menuntun pada tindakan intoleran, irasional, dan penuh kebencian. Dari sudut pandang psikologi sosial, ini bisa dijelaskan melalui konsep 'ingroup bias', di mana individu cenderung mengagungkan kelompoknya sendiri sambil merendahkan kelompok lain. Feodalisme agama semakin menguat, di mana pertanyaan dianggap penghinaan dan kritik diterjemahkan sebagai bentuk penistaan. Ini memperlihatkan pola pikir dogmatis yang menghambat perkembangan intelektual masyarakat. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa peradaban maju justru berkembang karena masyarakatnya berani mempertanyakan, berefleksi, dan mencari pemahaman yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai yang mereka anut.
Etika pun perlahan memudar. Dari rakyat biasa hingga pejabat, mentalitas "asal tidak melanggar hukum" menjadi pembenaran untuk berbagai tindakan tidak bermoral. Padahal, dalam etika sosial, terdapat prinsip yang lebih tinggi dari sekadar legalitas: moralitas. Namun kini, selama tak tertangkap atau tak ada regulasi spesifik yang melarang, apa pun dianggap sah-sah saja. Bahkan, di tingkat pemerintahan, kita sering melihat para pejabat yang kehilangan rasa malu ketika ketahuan berbuat salah, cukup dengan meminta maaf di depan publik tanpa konsekuensi yang berarti. Ini membentuk budaya impunitas, di mana individu merasa kebal hukum karena sistem yang longgar dalam memberikan sanksi.
Yang lebih menggelikan, banyak orang dengan penuh kesadaran terjebak dalam perjudian berkedok hiburan. Mereka paham bahwa algoritma dan probabilitas dalam permainan online bisa diatur oleh penyedia layanan, namun tetap saja tergoda untuk bermain dengan harapan menang. Dalam psikologi perilaku, ini berkaitan dengan konsep reinforcement schedule dalam teori B.F. Skinner, di mana individu terus melakukan suatu tindakan karena adanya imbalan yang tidak pasti namun cukup menggoda. Lebih ironis lagi, banyak yang malah membela dan menormalisasi kebiasaan ini, seakan mereka adalah korban sistem yang tak bisa mereka hindari. Padahal, di luar sana, bangsa lain justru sibuk mengembangkan kecerdasan buatan dan robotik, sementara kita masih disibukkan dengan perdebatan moralitas dalam perjudian virtual.
Namun, jika harus memilih yang paling mencerminkan regresi intelektual kita, mungkin logika mistik adalah juaranya. Di era di mana teknologi berkembang pesat dan sains menawarkan jawaban yang semakin akurat, kita justru semakin tenggelam dalam kepercayaan terhadap hal-hal yang tak masuk akal. Fenomena seperti santet, ilmu hitam, atau ritual-ritual supranatural terus menjadi bagian dari realitas sosial kita. Dari perspektif psikologi kognitif, ini bisa dikaitkan dengan 'cognitive bias' seperti patternicity, kecenderungan manusia untuk melihat pola dalam sesuatu yang sebenarnya acak. Inilah sebabnya mengapa banyak orang tetap percaya pada hal-hal mistis meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya. Di saat bangsa lain berlomba-lomba menciptakan inovasi berbasis teknologi, kita masih berkutat dalam ketakutan terhadap hal-hal yang seharusnya sudah terlewati oleh zaman.
Semua ini menimbulkan pertanyaan yang lebih besar: mau dibawa ke mana bangsa ini? Apakah kita akan terus melanggengkan kebodohan dan membiarkannya menjadi norma? Atau kita masih memiliki cukup keberanian untuk melawan, bertanya, dan memperbaiki diri? Sosiologi melihat ini sebagai dilema struktural, di mana individu mungkin menyadari adanya masalah, tetapi tetap terjebak dalam sistem yang sulit diubah. Namun, sejarah juga mencatat bahwa perubahan besar selalu diawali oleh kesadaran kolektif yang tumbuh perlahan. Sebab, jika kebodohan sudah menjadi budaya, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI