Kita hidup dalam era yang bergerak lebih cepat dari kemampuan kita untuk memahaminya. Teknologi berkembang pesat, menciptakan perubahan yang begitu drastis hingga membuat generasi ini seolah kehilangan orientasi. Dulu, orang tua mewariskan kebijaksanaan yang bisa bertahan lintas dekade. Sekarang? Apa yang kita anggap canggih hari ini bisa jadi hanya bahan nostalgia dalam hitungan tahun. Dunia tidak hanya berubah, dunia melesat tanpa ampun.
Pernahkah Anda mencoba menjelaskan kepada orang tua Anda bagaimana cara kerja mata uang kripto, NFT, atau AI generatif? Jika Anda berhasil melakukannya tanpa membuat mereka menatap kosong atau mengalihkan topik ke harga beras, selamat, Anda termasuk minoritas. Sementara kita sendiri, sebagai bagian dari generasi yang tumbuh di tengah ledakan informasi, juga sering merasa tertinggal. Bayangkan, apa yang dipelajari di bangku kuliah lima tahun lalu mungkin sudah tak relevan saat kita masuk ke dunia kerja. Kita bukan hanya menghadapi kompetisi sesama manusia, tetapi juga melawan algoritma yang semakin pintar dan mesin yang tidak pernah lelah.
Dulu, jalan menuju kesuksesan terasa lebih jelas. Sekolah, kuliah, bekerja, menikah, lalu hidup mapan di hari tua. Hari ini, narasi itu tak lagi sesederhana itu. Profesi yang stabil mulai kehilangan makna; banyak pekerjaan yang dulu menjanjikan kini terancam oleh otomatisasi. Bahkan, menurut laporan McKinsey Global Institute, sekitar 375 juta pekerjaan di seluruh dunia bisa tergantikan oleh teknologi dalam dekade mendatang. Itu berarti satu dari tiga pekerja harus mencari keterampilan baru atau tertinggal. Ironisnya, sistem pendidikan kita justru lebih banyak mengajarkan masa lalu di masa kini untuk masa depan, seakan-akan tidak relevan dengan perubahan yang sedang terjadi. Seharusnya, pendidikan mempersiapkan generasi sekarang untuk hidup di masa depan, bukan sekadar menghafal apa yang sudah usang. Jika perubahan begitu cepat, mengapa cara kita belajar masih terasa seperti berjalan di tempat?
Ironinya, di tengah ledakan teknologi, kita justru semakin sulit merasa cukup. Generasi sebelum kita mungkin tidak kaya, tapi mereka lebih damai. Kini, standar kebahagiaan telah berubah. Media sosial memperlihatkan gaya hidup yang terlihat sempurna, menciptakan tekanan tak kasat mata untuk selalu tampil lebih sukses, lebih kaya, lebih bahagia. Kita tidak hanya bekerja untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk mengejar validasi yang terus bergerak maju. Seperti treadmill yang tidak pernah berhenti, kita terus berlari tanpa tahu kapan harus berhenti.
Dalam psikologi, fenomena ini disebut hedonic treadmill, konsep di mana manusia cenderung kembali ke tingkat kebahagiaan yang sama meski telah mencapai pencapaian besar. Artinya, sesukses apa pun kita hari ini, besok kita tetap merasa kurang. Punya gaji besar? Sekarang butuh passive income. Sudah punya rumah? Sekarang harus punya properti tambahan. Dunia tidak hanya menuntut kita untuk sukses, tetapi untuk selalu lebih sukses.
Lalu, apakah kita benar-benar generasi yang terkutuk? Ataukah ini hanya tantangan yang belum kita pahami sepenuhnya?
Mari kita melihat dari sudut pandang sejarah. Setiap era memiliki tantangannya sendiri. Generasi sebelum kita mungkin tidak pusing dengan perubahan teknologi, tetapi mereka hidup di bawah bayang-bayang perang dan krisis ekonomi yang lebih brutal. Mereka menghadapi tantangan fisik yang nyata, kelaparan, penyakit, peperangan. Kita, di sisi lain, menghadapi tantangan mental yang lebih kompleks---kecemasan eksistensial, informasi berlebih, dan ketidakpastian masa depan. Jika dulu musuh manusia adalah kelangkaan, kini musuh kita adalah kelimpahan yang tidak terkendali.
Namun, di tengah semua kekacauan ini, ada harapan. Teknologi memang menghapus banyak hal, tetapi juga menciptakan peluang baru. Dulu, seorang anak desa mungkin hanya bisa bermimpi menjadi penulis, musisi, atau seniman tanpa akses ke jaringan luas. Hari ini, siapa pun bisa berbicara kepada dunia melalui internet. Bahkan, pekerjaan baru yang tak terpikirkan sepuluh tahun lalu kini bisa menjadi mata pencaharian utama, content creator, data analyst, cybersecurity specialist.
Tetap saja, satu hal yang tak boleh kita lupakan: keseimbangan. Kita perlu belajar berdampingan dengan perubahan, bukan hanya mengejarnya. Jangan sampai kita hanya menjadi generasi yang sibuk menyesuaikan diri tanpa pernah benar-benar memahami apa yang kita kejar. Jika dunia ini ibarat ombak besar, mungkin kita tak bisa menghentikannya. Tapi kita bisa belajar berselancar, mencari ritme sendiri, dan memahami bahwa terkadang, berhenti sejenak bukan berarti kalah.
Sebagai penutup, ingatlah satu hal: dunia memang berubah lebih cepat dari sebelumnya, tapi satu hal tetap sama, manusia tetaplah manusia. Kita masih butuh koneksi, kebijaksanaan, dan sedikit tawa di tengah absurditas hidup. Jadi, jika suatu hari nanti Anda merasa stres karena dunia yang terlalu cepat ini, duduklah sebentar, hirup napas dalam-dalam, dan ingat: bahkan teknologi secanggih apa pun belum bisa menggantikan nikmatnya teh hangat dan obrolan santai dengan orang-orang terdekat. Setidaknya, untuk saat ini.