Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

orang bodoh yang tak kunjung pandai - KH Mustofa Bisri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesederhanaan yang Memudar: Menimbang Gaya Hidup Ulama di Era Modern

5 Februari 2025   10:32 Diperbarui: 5 Februari 2025   10:32 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.suara.com/news/2020/08/20/203630/profil-gus-baha-sang-ulama-kharismatik?page=all

Ada masa ketika ulama dipandang sebagai sosok yang mencerminkan laku hidup sederhana, jauh dari kemewahan duniawi. Mereka dihormati bukan karena harta, tetapi karena ilmu dan keikhlasan dalam mengajar. Gaya hidup mereka seakan menjadi cermin ajaran yang mereka sampaikan, di mana zuhud bukan sekadar konsep, melainkan laku yang melekat dalam keseharian. Namun, seiring berjalannya waktu, perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi membuat citra ulama mengalami pergeseran.

Beberapa waktu lalu, perdebatan muncul di ruang publik mengenai seorang ulama muda yang terlihat dalam konvoi mobil mewah. Bagi sebagian orang, pemandangan itu menimbulkan tanda tanya: apakah ini masih selaras dengan nilai kesederhanaan yang selama ini menjadi ciri khas para ulama, terutama dari kalangan tradisional?

Perdebatan ini mencerminkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar gaya hidup seseorang. Ini adalah persoalan nilai dan ekspektasi publik terhadap figur keagamaan. Di satu sisi, ada harapan bahwa ulama tetap memegang teguh tradisi kesederhanaan, sebagaimana yang kita lihat pada sosok ulama seperti Gus Baha. Beliau dikenal luas karena sikapnya yang bersahaja, dengan ceramah yang mengalir jernih, tanpa kesan menggurui atau mengkomodifikasi agama. Sikapnya yang tetap hidup sederhana meski memiliki banyak pengikut menjadikannya teladan dalam membumikan ilmu.

Namun, realitas sosial yang berkembang saat ini tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai lama. Perubahan ekonomi, media sosial, serta cara agama dikonsumsi oleh publik telah mengubah lanskap kehidupan keulamaan. Hari ini, seorang ulama bukan hanya seorang pengajar, tetapi juga figur publik dengan jutaan pengikut di media sosial. Mereka diundang ke berbagai acara, mendapatkan penghargaan, bahkan sering kali menerima hadiah dari pengikut yang ingin menunjukkan rasa hormat dan cinta.

Apakah dengan menerima itu semua seorang ulama menjadi kurang otentik dalam nilai-nilai kesederhanaannya?

Pertanyaan ini sebenarnya tidak sesederhana yang terlihat. Dalam perspektif ilmu sosial, kita bisa melihat fenomena ini sebagai bagian dari perubahan sosial yang lebih besar. Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, berbicara tentang konsep "modal sosial" dan "modal simbolik". Seorang ulama yang dihormati oleh banyak orang memiliki modal simbolik yang besar, pengaruh, kewibawaan, dan otoritas moral. Namun, dalam dunia modern, modal ini sering kali terkonversi menjadi modal ekonomi, baik dalam bentuk donasi, fasilitas, atau penghargaan dari masyarakat.

Di titik ini, muncul dilema moral: sejauh mana seorang ulama boleh menerima kenyamanan duniawi tanpa kehilangan esensi dari tugasnya sebagai penyampai kebenaran?

Jika kita melihat kembali sejarah, para ulama besar di Nusantara seperti KH. Hasyim Asy'ari atau KH. Ahmad Dahlan hidup dengan kesederhanaan meskipun mereka memiliki pengaruh besar. Mereka memahami bahwa otoritas keagamaan tidak berasal dari materi, tetapi dari integritas dan ilmu yang mereka sebarkan. Di sisi lain, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa zaman berubah. Jika dulu seorang ulama cukup mengajar di pesantren, kini mereka juga diundang dalam seminar, acara televisi, hingga tampil di platform digital yang menjangkau jutaan orang.

Faktor inilah yang membuat garis antara kesederhanaan dan kemewahan menjadi semakin kabur. Sebagian masyarakat melihat seorang ulama yang naik mobil mewah sebagai simbol keberhasilan dakwahnya, bahwa ia dihormati, dicintai, dan didukung oleh banyak orang. Namun, bagi sebagian lainnya, itu adalah tanda pergeseran nilai; sesuatu yang bertentangan dengan citra ulama yang seharusnya hidup bersahaja, tidak terikat pada dunia materi.

Dalam perspektif psikologi sosial, fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori disonansi kognitif. Manusia cenderung merasa tidak nyaman ketika dihadapkan pada dua gagasan yang bertentangan. Ketika seseorang telah lama mempercayai bahwa ulama harus hidup sederhana, melihat seorang ulama dengan konvoi mobil mewah menciptakan ketidaksesuaian antara keyakinan dan realitas. Perasaan tidak nyaman inilah yang kemudian melahirkan kritik, kecaman, atau perdebatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun